" AKU IKHLASKAN ENGKAU UNTUK KAKAKKU "


Kupandangi bunga-bunga yang bermekaran indah dihalaman asrama putriku, sambil menunggu sholat Ashar tiba. Wajah itu tak pernah lepas dari bayanganku, wajah indah bermata sendu dan berkulit putih, dia adalah guru ngajiku sewaktu aku kecil dikampung halamanku, malu rasanya bila ingat itu, aku sekecil itu sudah mengagumi seorang ustad muda yang baru lulus mesantren ditempat yg sekarang aku sekolah. Namanya ustad Mujab.Aku sendiri bingung, apa yang membuatku bisa jatuh cinta padanya, padahal aku masih kecil kala itu, sampai-sampai aku ingin berjilbab seperti kakakku Nisa. Mungkin ini karena teteh sering membacakan novel romantis ayat-ayat cinta disetiap menjelang tidurku, ah... Aku merasa seperti Maria yang sangat mengagumi Fahri.

Setiap kali abah mengantarkan aku mengaji di mushola tempat ustad Mujab tinggal sekaligus membina pengajian anak-anak, aku suka sibuk sendiri, sibuk untuk memberikan penampilan terbaik, abah kadang bingung dan terheran-heran melihat tingkahku.

"Euis... Cepetan, penggajiannya sudah dimulai." Teriak abah.

"Sebentar abah..." Jawabku yang masih memilih-milih pakaian untuk mengaji. Ku cari peralatan kecantikan teteh Nisa, kupoles wajahku dengan bedak tipis dan lipstik pinknya, saat aku keluar abah terkejut dan matanya melotot.

"Euis... Nanaonan sia? Mau ngaji apa mau keacara ulang tahun?" Tanya abah sedikit marah.

"Kata ustad Mujab jadi perempuan harus indah harus selalu menjaga penampilan dan kesucian abah..." Jelasku ingin tertawa.

"Ya Allah, manehteh masih kecil Euis. Ya udah hayuk, nanti terlambat.

Sehabis Ashar itu abah membawaku dengan sepeda tuanya, sambil memandangi pohon-pohon karet yang berbaris rapi, aku membayangkan wajah ustad mujab, tak sabar rasanya untuk menghadap dan membacakan Ikraku yang sudah kulancarkan membacanya semalaman. Aku ingin ustad mujab kagum melihat bacaan Ikraku yang bagus.Ah, ustad mujab sampai saat ini aku masih memikirkanmu. Apa kabarmu dikampung halaman kita? Apa kau masih setia mengajar ngaji di Mushola didekat sungai Cisadane Rumpin Bogor? Disini dipondok yang pernah kau menuntut ilmu di kota Magelang ini aku masih mencintaimu?

Aku masih ingat, saat pengajian sudah usai, aku sengaja mendekati ustad Mujab.

"Ustad, Euis boleh tanya nggak" tanyaku sedikit centil.

"Boleh Euis, mau tanya apa?"

"Pernah baca novel ayat-ayat cinta nggak ustad? Teteh Nisa sering membacakannya untukku." Wajah ustad langsung bingung, ia lalu tersenyum.

"Jangan panggil ustad Euis, panggil Aa aja, Aa teh baru lulus mesantren belum layak dipanggil ustad,"

Aa, aku langsung terbang ustad Mujab ingin aku memanggilnya Aa,"Oh, yaudah kalau gitu Euis manggilnya Aa aja kalau begitu."

"Novel itu Aa suka banget."

Pulangnya aku merasa terbang diatas aspal, tak kusadari lagi bahwa aku sedang berada diboncengan sepeda abah. Aku merasa terbang bersama kuda putih yang bersayap.

Sesampainya dirumah aku mengambil kertas surat teteh yang bermotif bunga, kutulis surat cinta pertamaku untuk ustad Mujab. Surat pendek hanya satu paragraf.

"Ustad, jika ustad bersedia menunggu, maukah kau menjadi Fahriku disuatu saat nanti"

Tanpa kutulis namaku, kulipat kertas itu lalu kuambil sebuah amplop diatas meja belajar teteh Nisa.Esoknya aku sudah tak sabar untuk memberikan surat itu pada Ustad Mujab.Berhari-hari aku menunggu balasan dari Ustad Mujab, tapi tak ada balasan sampai aku lulus SD dan SMP. Aku berpikir mungkin aku masih kecil atau mungkin Ustad Mujab ingin menungguku ketika aku lulus SMA nanti.

Akupun memaksa abah untuk masuk kepesantren ditempat ustad mujab belajar, ketika aku lulus SMP.Dengan berat hati abah dan umipun mengizinkan. Sebelum berangkat kugoes sepeda tua abah menuju mshola abah, kulihat ustad Mujab sedang menyiram tanaman sayuran disamping mushola. Air mataku mengalir deras memandangnya dari kejauhan. Ustad Mujab memandangiku, ia melambaikan tangannya, aku terus menangis, aku sangat berat berpisah dengannya, sudah banyak yang ia ajarkan tentang agama padaku. Aku ingin menjadi wanita sholeha agar bisa menjadi istri ustad ketika dewasa nanti, tak perduli ustad sudah berumur jauh dariku.Kuhapus air mataku, akupun tak kuasa menemuinya, aku kembali menaiki sepeda abah, kugoes dan akupun pergi.

"Euis...Euis..." Teriak ustad memanggilku dan mengejarku. Aku berhenti.

"Euis, salam sama guru-guruku nanti disana ya? Ini, disana kau akan menggunakannya." Ucapnya sambil memberikan lima buku bertulis arab tebal-tebal padaku. Aku mengambilnya.

"Hati-hati disana" Aku terharu, tak kuasa lagi menahan tangis, akupun langsung pulang, disepanjang perkebunan karet itu aku menangis lagi. Itu untuk terakhir kalinya aku melihatnya. Ah ustad Mujab, cinta itu masih tumbuh sampai detik ini, dimana aku sebentar lagi Ujian Nasional, aku tak sabar lagi ingin melihatmu lagi di musholamu. Tak peduli berapa umurmu saat ini.

Hari itu,hari terakhir aku dipondok, abah tak menjemputku. Ia mengirim surat bahwa abah sedang sibuk mengurus pernikahan teteh Nisa, abah hanya mengirimkan uang dan menyuruhku pulang sendiri. Sedih rasanya, apalagi tak bisa menghadiri pernikahan teteh Nisa.Akupun pulang, tak sabar rasanya ingin segera bertemu keluarga, lebih-lebih ingin melihat ustad Mujab.

Setelah menepuh perjalanan jauh, abah menjemputku di Parung, abah sudah punya motor, aku hanya menangis dan memeluk abah erat-erat, dia pahlawanku, seorang guru pegawai negeri yang sederhana. Aku tak banyak tanya, aku hanya menangis saja.Setiba dirumah umi langsung memelukku. Aku melihat-lihat sepeda tua abah, masih ada dan masih seperti dulu, abah pandai juga merawat barang-barangnya.Belum sempat masuk aku langsung mengambil sepeda, aku sudah tak sabar ingin menemui ustad Mujab.

"Euis mau kemana?" Tanya umi.

"Jalan-jalan umi... Kangen dengan nuansa desa Ranca Pinggan..." Teriakku.Kukayuh sepeda abah dengan kencang, jilbabku berkibar-kibar tertiup anging. Perkebunan karet masih seindah dulu. Sepedaku terhenti, diujung sana kulihat mushola ustad Mujab, air mataku terjatuh, rinduku sungguh luar biasa padanya. Kuhempaskan sepedaku dan aku langsung berlari menuju moshola. Kosong, tak ada ustad Mujab disana, Musholanya sudah bagus, dicat dengan warna hijau muda dan dipenuhi kaligrafi yang indah. Aku berdiri ditengah-tengah mushola. Melihat tumpukan buku Ikra. Aku teringat semuanya saat kecil bersamanya.Lama, ustad Mujab tak terlihat juga, akupun pulang.

Setiba dirumah, aku terkejut, ustad Mujab bearada dirumahku, disamping teteh Nisa sambil tersenyum. Air mataku meleleh, diruang tamu itu kulirik photo pernikahan teteh Nisa bersama seorang laki-laki yang tak asing bagiku. Iya sangat tidak asing karena bertahun-tahun laki-laki itu selalu bersamaku, ia selalu ikut kemana pergiku, menemaniku kemana ku berada, ustad Mujab kini menjadi milik teteh Nisa.Aku mencoba tersenyum walau air mata ingin mengalir deras, tak ingin menangis meski air mata terpaksa terjatuh, untuk pertama kalinya aku merasakan sakit hati yang luar biasa, serasa tak sanggup namun aku mencoba tetap tegar, berusaha tersenyum walau terpaksa.

"Teteh... Ternyata teteh nikahnya sama ustad Mujab. Euis jadi punya kakak ipar ustad dong?" Ucapku sambil meneteskan air mata.

"Kan sekarang teteh juga punya adik cantik calon ustadzah..."Sekali lagi ku tersenyum walau masih mencoba.

"Sudah disampaikan salamku sama guru-guru Aa disana?"

Tanya Ustad Mujab.Mendengar kata Aa aku seperti mau pingsan, kata itulah yang pertama membuatku seperti kehilangan masa-masa kecil yg seharusnya banyak bermain dan belajar, aku malah memikirkan cinta yg tak seharusnya ada diumur sekecil itu. Kini aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Mungkin pasrah dan menyimpan rasa ini dalam-dalam dan membuangnya kelaut merah sana. Lalu apa ustad tak pernah mengerti dengan surat pertamaku, apa mungkin ustad menyangka surat itu bukan dariku malah dari teteh Nisa? Aku tak tahu.Aku langsung menyalami mereka dan masuk kekamarku, kukunci dan tak ada yang bisa kulakukan selain menangis dan menangis.Sebuah Novel tergeletak dimeja belajarku yang masih terawat karena kamarku sering diurus umi, Novel baru milik teteh Nisa, sambil berlinangan air mata, kubuka novel itu, kubaca sebuah puisi didalamnya.

"Sebesar apapun kau menginginkan cinta, meski sebesar Zhulaika pada Nabi Yusuf, jika tuhan tidak memilihkannya untukmu jangan bersedih dan jangan merasa duniamu sempit. Tak semua awan hitam itu menakutkan, pasti celah perak meski sedikit, ingatlah... Sebenarnya dibalik itu semua tuhan sedang menyiapkan yg terbaik buat kita. Bahkan yang lebih baik dari yang kita inginkan"

Aku menarik nafas lalu menghembuskannya, kukatakan dalam hatiku"Aku ikhlas meski ustad Mujab tak jadi milikku, kutunggu penggantinya ya Allah, yang lebih tampan, lebih shaleh dan lebih baik. آمِيْن يَا رَب الْعَالَمِيْن
Previous
Next Post »