AQIDAH ASWAJA

AQIDAH ASWAJA:

Penjelasan Ringkas AQIDAH ASWAJA
(Ahlussunnah Wal Jama’ah)

Segala puji bagi Allah, semoga shalawat dan salam tetap terlimpah kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, Waba’du. Allah ta’ala berfirman:
( ” َليس كَمثْله شىءٌ ” (سورة الشورى: 11
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi
maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam
bersabda:
“كَانَ اللهُ وَلم يكُن شىءٌ غَيره” (رواه البخاري والبيهقي
وابن الجارود)
Maknanya: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatu selain-
Nya” (H.R. al Bukhari, al Baihaqi dan Ibn alJarud)
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘arsy, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah.
Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, tanpa tempat dan arah. Dialah yang telah menciptakan tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri sesuatu yang baru
(makhluk).
قَالَ سيدنا علي رضي اللهُ عنه: “كَانَ اللهُ ولاَ مكَانَ وهو
ْالآنَ علَى ما علَيه كَانَ” (رواه الإمام أبو منصور
البغدادي في الفرق بين الفرق)
Sayyidina ‘Ali –semoga Allah meridlainyaberkata :
: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, dan Dia sekarang (setelah menciptakan tempat) seperti semula, ada tanpa tempat” (Dituturkan oleh alImam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitabnya al Farq bayn al Firaq)
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi –semoga Allah meridlainya- (227 – 321 H) berkata dalam menjelaskan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah:
“تعالَى (يعِني الله) عنِ الْحدود والْغايات وْالأَركَان
وْالأَعضاءِ وْالأَدوات ، لاَ تحوِيه الْجِها ت الست كَسائرِ
الْمبتدعات”.
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran
sama sekali) batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya)
maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya), Dia
tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak
seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
dan beliau juga berkata:
“ومن وصف اللهَ ِبمعنى من معانِي الْبشرِ فَقَد كَفَر”.
“Dan barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir”.
Di antara sifat manusia adalah duduk, bertempat, bergerak, diam, berada pada satu arah atau tempat, berbicara dengan huruf, suara dan bahasa, maka barang siapa yang mengatakan bahwa bahasa arab atau bahasabahasa selain bahasa arab adalah bahasa Allah atau mengatakan bahwa kalam Allah yang azali
(tidak mempunyai permulaan) dengan huruf, suara atau semacamnya maka dia telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Begitu juga orang yang meyakini al Hulul dan Wahdatul Wujud telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Al Imam ar-Rifa’i –semoga Allah
meridlainya- (W. 578 H) berkata:
“صونوا عقَائدكُم من التمسك ِبظَاهرِ ما تشابه من
الْكتابِ والسنة فَإِنَّ ذلك من ُأصولِ الْكُفْرِ”.
“Peliharalah aqidah engkau dari berpegangan kepada zhahir ayat al-Qur’an dan hadits Nabi –
shallallahu ‘alayhi wasallam– yang mutasyabihat sebab hal itu merupakan salah satu pangkal
kekufuran”. Al Imam ar-Rifa’i berkata:
“غَايةُ الْمعرِفَة ِباللهِ ْالإِيقَا ُ ن ِبوجوده تعالَى ِبلاَ كَيف ولاَ
مكَان”.
Maknanya: “Batas akhir pengetahuan seorang hamba tentang Allah adalah meyakini bahwa Allah
ta’ala ada tanpa bagaimana (sifat-sifat makhluk) dan ada tanpa tempat”.
Faedah: Para Ulama’ dari kalangan empat madzhab membagi Kufur menjadi tiga macam:
1. Kufur I’tiqadi, seperti orang yang meyakini bahwa Allah bertempat di arah atas atau arah-arah lainnya, bersemayam atau duduk di atas ‘arsy, atau meyakini Allah seperti cahaya atau semacamnya. Di antara contoh kufur i’tiqadi juga adalah tidak meyakini bahwa perbuatan manusia yang ikhtiyari (yang disengaja) adalah terjadi atas qadha dan qadar (ketentuan) Allah seperti keyakinan Hizbut Tahrir.
2. Kufur Fi’li, seperti sujud kepada berhala, melempar Mushhaf atau lembaranlembaran yang bertuliskan ayat al Qur’an atau nama-nama yang diagungkan ke tempat sampah atau menginjaknya dengan sengaja dan lain-lain.
3. Kufur Qauli, seperti mencaci Allah, ataumencaci maki nabi, malaikat atau Islam, meremehkan janji dan ancaman Allah, atau menentang Allah, atau mengharamkan perkara yang jelas-jelas halal, atau menghalalkan perkara yang jelas-jelas haram, dan lain-lain. Seperti juga menyifati Allah dengan al ‘Aql al Mudabbir (akal yang mengatur) atau ar-Risyah al Mubdi’ah (bulu yang menciptakan) sebagaimana terdapat
dalam kitab Fi Zhilal al Qur’an karya Sayyid Quthb; pimpinan kelompok yang menghalalkan darah umat Islam yang menyebut diri mereka sebagai Jama’ah Islamiyyah.
KAEDAH: Setiap keyakinan, perbuatan atau perkataan yang mengandung pelecehan terhadap Allah, rasul-Nya, Malaikat-Nya, syiar agama-Nya, hukum-hukum-Nya, janjijanji dan ancaman-Nya adalah kekufuran maka hendaklah seseorang menjauhi semua ini dengan segala upaya serta dalam keadaan
apapun. Barang siapa yang jatuh pada salah satu macam kekufuran tersebut maka dia dihukumi kafir. Dan wajib baginya meninggalkan kekufuran tersebut dan segera masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Jika ia membaca istighfar sebelum mengucapkan syahadat maka istighfar tersebut tidak bermanfaat baginya. Pembagian kekufuran tersebut di atas berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an: surat al Hujurat (49):15, Fushshilat (41): 37, at-Taubah (9): 65-66, 74. Lebih lanjut baca kitab-kitab fiqh empat madzhab; Madzhab Syafi’i (kitab Raudlah ath-Thalibin, karya Imam an-Nawawi (W. 676 H), Kifayatul Akhyar, karya Syekh Taqiyyuddin alHushni (W. 829 H), Sullam at-Taufiq karya alHabib ‘Abdullah ibn Husein ibn Thahir (W.
1272 H, dan lainnya). Madzhab Maliki (Minahal Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, karya Syekh Muhammad ‘Illaysy (W. 1299 H) dan lain-lain).Madzhab Hanafi (Hasyiyah Radd al Muhtar, karya Syekh Ibnu ‘Abidin (W. 1252 H) dan kitab-kitab lain). Madzhab Hanbali (Kasysyaf al Qina’ karya Syekh Manshur ibn Yunus ibn Idris al Buhuti, ulama abad 11 H dan lain-lain).
FAEDAH
قَالَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم: “َلتفْتحن
الْقسطَنطيِنيةُ فَلَِنعم ْالأَمير َأميرها وَلِنعم الْجيش ذَلك
الْجيش” (رواه الإمام أحمد في مسنده)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Konstantinopel (Istanbul sekarang)
pasti akan dikuasai, maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang berhasil manguasainya dan sebaik-baik tentara adalah tentara tersebut”.
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya)
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam memuji sultan Muhammad al Fatih karena beliau adalah seorang sultan yang saleh, aqidahnya sesuai dengan aqidah Rasulullah. Seandainya aqidahnya menyalahi aqidah Rasulullah, Rasulullah tidak akan memujinya. Seperti maklum diketahui dan dicatat oleh sejarah bahwa sultan Muhammad al Fatih adalah Asy’ari Maturidi, meyakini bahwa Allah ada tanpa tempat. Dengan demikian hadits ini adalah busyra; berita gembira bagi seluruh Ahlussunnah, al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah bahwa aqidah mereka sesuai dengan aqidah Rasulullah, maka berbahagialah orang yang
senantiasa mengikuti jalan mereka. Aqidah al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah adalah aqidah kaum muslimin dari kalangan salaf dan khalaf, aqidah para khalifah dan sultan, seperti Sultan Shalahuddin al Ayyubi –semoga Allah meridlainya-. Sultan Shalahuddin al Ayyubi adalah seorang ‘alim, penganut aqidah Asy’ariyyah dan mazhab Syafi’i, hafal al Qur’an dan kitab at-Tanbih dalam fiqh Syafi’i serta sering menghadiri majlis-majlis ulama hadits. Beliau memerintahkan agar aqidah sunni
Asy’ariyyah dikumandangkan dari atas menara masjid sebelum shalat subuh di Mesir, Hijaz (Makkah dan Madinah), Tha-if dan sekitarnya serta di seluruh Negara Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon). Al
Imam Muhammad ibn Hibatillah al Barmaki menyusun untuk Sultan Shalahuddin al Ayyubi sebuah risalah dalam bentuk nazham berisi aqidah Ahlussunnah dan ternyata sultan sangat tertarik dan akhirnya memerintahkan agar aqidah ini diajarkan kepada umat Islam, kecil dan besar, tua dan muda, sehingga
akhirnya risalah tersebut dikenal dengan nama al Aqidah ash-Shalahiyyah. Risalah ini diantaranya memuat penegasan bahwa Allah maha suci dari benda (jism), sifat-sifat benda dan maha suci dari arah dan tempat.
Al Hafizh Muhammad Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) dalam Syarh Ihya Ulum ad-Din Juz II, h. 6, mengatakan: “Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan al Maturidiyyah”. Kemudian beliau mengatakan: “Al Imam al’Izz ibn Abd as-Salam mengemukakan bahwa
aqidah Asy’ariyyah disepakati oleh kalangan pengikut madzhab Syafi’i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudlala al Hanabilah). Apa yang dikemukakan oleh al ‘Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh para ulama dimasanya, seperti Abu ‘Amr Ibn al Hajib (pimpinan ulama madzhab Maliki di masanya), Jamaluddin al Hushari pimpinan ulama madzhab Hanafi di masanya, juga disetujui oleh al Imam at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh putranya Tajuddin as-Subki”. Al Hakim meriwayatkan dalam al Mustadrak dan al Hafizh Ibn ‘Asakir dalam Tabyin Kadzib al Muftari bahwasanya ketika turun ayat:
( [..فَسوف يأْتي اللهُ ِبقَومٍ يحبهم ويحبونه ](المائدة: 54
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam menunjuk kepada sahabat Abu Musa al Asy’ari dan bersabda: “Mereka adalah kaum orang ini”. AlQurthubi mengatakan dalam tafsirnya, Juz VI,h. 220: “Al Qusyairi berkata: pengikut Abu alHasan al Asy’ari adalah termasuk kaumnya”.(Telah maklum bahwa al Imam Abu al Hasan
al Asy’ari, imam Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah keturunan sahabat Abu Musa alAsy’ari).
Previous
Next Post »