KISAH-KISAH TELADAN II




Seketika itu juga Abu Nawas menyadari apa yang terjadi. Ia lalu menjelaskan kejadian yang sebenarnya dari awal hingga akhir. Orang-orang pun percaya pada penuturan Abu Nawas. Sebab, selama ini Abu Nawas dikenal sebagai orang yang jujur dan berbudi pekerti baik.

Setelah orang kampung meninggalkan rumahnya, Abu Nawas pun bermaksud untuk mengembalikan terompah ajaib itu kepada pedagangnya di pasar. Setelah berpamitan pada istrinya, ia segera pergi ke pasar untuk menemui si pedagang terompah tersebut. Tak lama kemudian, sampailah ia di pasar dan menemukan pedagang tersebut.

"Assalamu'alaikum!, ucap Abu Nawas memberi salam.
"Wa'alaikumussalam," jawab si pedagang, "Ternyata Engkau Tuan, bagaimana kabar Anda?"
"Kabar jelek. Aku selalu ditimpa kemalangan," jawab Abu Nawas.
"Ditimpa kemalangan bagaimana?" tanya pedagang itu penasaran.
"Gara-gara terompah ini, aku terus-menerus ditimpa kemalangan. Padahal, dulu Engkau mengatakan bahwa terompah ini bisa mendatangkan keberuntungan. Aku bisa menjadi orang terkenal dan kaya, tetapi mana buktinya? Malah aku sering kena marah orang kampung karena terompah ini."

Kemudian ia menceritakan beberapa kejadian yang menimpanya.
"Seingat saya, saya tidak pernah mengatakan seperti itu tuan?" sergah si pedagang tua itu. "Saya mengatakan bahwa bila Tuan mulanya orang yang tidak punya, maka dengan membelinya, Tuan akan menjadi orang yang punya. Buktinya sekarang Tuan telah mempunyai terompah ini dan dikenal oleh orang banyak karena memilikinya."

Mendengar penuturan pedagang itu, Abu Nawas hanya bisa diam saja. Ia menyadari bahwa dirinya telah salah tafsir. "Tapi…tapi…mengapa terompah ini Engkau katakan terompah ajaib?" tanya Abu Nawas kemudian.
"Oh, itu?" pedagang tersebut menjawab, "Sebab merek terompah itu adalah Ajaib, sebagaimana dinamakan oleh pembuatnya. Jadi, pantaslah bila saya menyebutnya terompah ajaib, sebagaimana kita menyebut ikan ikan mas. Sebab ikan itu berwarna keemasan."

Sekali lagi Abu Nawas tidak bisa berkata apa-apa mendengar penuturan pedagang itu. Lantas ia mohon diri begitu saja. "Tapi, tunggu tuan!" cegah pedagang itu ketika melihat Abu Nawas bergegas akan pergi.
"Saya ingin mengatakan sesuatu kepada tuan."Tuan ada sedikit pun rasa percaya bahwa sesuatu selain Allah itu bisa mendatangkan kekayaan atau keberuntungan atau yang lainnya. Sebab, percaya pada sesuatu selain Allah itu bisa membuat kita syirik dan mendapatkan kesusahan baik di dunia maupun di akhirat kelak, buktinya sebagaiman tuan alami. Oleh karena itu, segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebelum semuanya terlambat. Sebab, bagaimana pun juga syirik seperti ini jarang sekali bisa kita sadari, kecuali hanya hamba-hamba Allah yang selalu berserah diri kepada-Nya."

Mendengar penuturan seperti itu, Abu Nawas baru menyadari kesalahannya. Ternyata banyak sekali hal-hal yang bisa membawa kepada perbuatan yang dimurkai Allah. Mulai saat itulah ia sangat berhati-hati kepada hal-hal yang (kadang-kadang tanpa disadari) akan menjerumuskan kita pada perbuatan syirik terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia



Pada zaman pemerintahan Umar bin Khaththab hiduplah seorang janda miskin bersama seorang anak gadisnya di sebuah gubuk tua di pinggiran kota Mekah. Keduanya sangat rajin beribadah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Setiap pagi, selesai salat subuh, keduanya memerah susu kambing di kandang. Penduduk kota Mekah banyak yang menyukai susu kambing wanita itu karena mutunya yang baik.

Pada suatu malam, Khalifah Umar ditemani pengawalnya berkeliling negeri untuk melihat dari dekat keadaan hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Setelah beberapa saat berkeliling, sampailah khalifah di pinggiran kota Mekah. Beliau tertarik melihat sebuah gubuk kecil dengan cahaya yang masih tampak dari dalamnya yang menandakan bahwa penghuninya belum tidur. Khalifah turun dari kudanya, lalu mendekati gubuk itu. Samar-samar telinganya mendengar percakapan seorang wanita dengan anaknya.
"Anakku, malam ini kambing kita hanya mengeluarkan susu sedikit sekali. Ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan pelanggan kita besok pagi," keluh wanita itu kepada anaknya.

Dengan tersenyum, anak gadisnya yang beranjak dewasa itu menghibur, "Ibu, tidak usah disesali. Inilah rezeki yang diberikan Allah kepada kita hari ini. Semoga besok kambing kita mengeluarkan susu yang lebih banyak lagi."
"Tapi, aku khawatir para pelanggan kita tidak mau membeli susu kepada kita lagi. Bagaimana kalau susu itu kita campur air supaya kelihatan banyak?"
"Jangan, Bu!" gadis itu melarang. "Bagaimanapun kita tidak boleh berbuat curang. Lebih baik kita katakan dengan jujur pada pelanggan bahwa hasil susu hari ini hanya sedikit. Mereka tentu akan memakluminya. Lagi pula kalau ketahuan, kita akan dihukum oleh Khalifah Umar. Percayalah, ketidakjujuran itu akan menyiksa hati."

Dari luar gubuk itu, Khalifah Umar semakin penasaran ingin terus mendengar kelanjutan percakapan antara janda dan anak gadisnya itu.
"Bagaimana mungkin khalifah Umar tahu!" kata janda itu kepada anaknya. "Saat ini beliau sedang tertidur pulas di istananya yang megah tanpa pernah mengalami kesulitan seperti kita ini?"
Melihat ibunya masih tetap bersikeras dengan alasannya, gadis remaja itu tersenyum dengan lembut dan berkata, "Ibu, memang Khalifah tidak melihat apa yang kita lakukan sekarang. Tapi Allah Maha Melihat setiap gerak-gerik makhluknya. Meskipun kita miskin, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang dimurkai Allah."

Dari luar gubuk, khalifah tersenyum mendengar ucapan gadis itu. Beliau benar-benar kagum dengan kejujurannya. Ternyata kemiskinan dan himpitan keadaan tidak membuatnya terpengaruh untuk berbuat curang. Setelah itu khalifah mengajak pengawalnya pulang.
Keesokan harinya, Umar memerintahkan beberapa orang untuk menjemput wanita pemerah susu dan anak gadisnya untuk menghadap kepadanya. Beliau ternyata bermaksud menikahkan putranya dengan gadis jujur itu.
Sungguh sebuah teladan bagi kita semua, bahwa kejujuran karena takut kepada Allah adalah suatu harta yang tak ternilai harganya. Mungkin ini yang sulit kita dapatkan sekarang.
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia



Seorang lelaki yang dicurigai menyimpan harta titipan milik dinasti Bani Umayyah dilaporkan kepada Khalifah al-Manshur. Ia segera ditangkap dan dihadapkan kepada sang Khalifah.
"Kami dengar laporan, kamu menyimpan harta titipan milik Bani Umayyah. Sekarang serahkan kepada kami," kata Khalifah.
"Amirul Mukminin, apakah Tuan pewaris Bani Umayyah?" tanyanya.
"Tidak,''jawab sang Khalifah.
"Atau, mereka sudah memberi wasiat kepada Anda?"
"Juga tidak."
"Lalu mengapa Tuan meminta aku menyerahkan harta yang ada di tanganku?"
Sejenak Khalifah al-Manshur menunduk tanda ia sedang berpikir. Kemudian sambil mengangkat kepala ia beujar:
"Sesungguhnya para pemimpin dinasti Bani Umayyah suka berlaku zaiim kepada kaum muslimin waktu itu. Selaku khalifah, kami berhak mengurus hak mereka. Jadi, kami bermaksud mengambil hak mereka, lalu kami simpan ke dalam kas negara."

"Tuan perlu mengajukan bukti yang adil bahwa harta milik Bani Umayyah yang ada padaku adalah milik kaum muslimin yang dirampas secara tidak sah. Sebab, boleh jadi ini adalah mumi milik mereka sendiri."
"Kamu benar. Kamu memang berhak atas harta itu," kata sang Khalifah.
"Terima kasih atas pengertian Tuan, Amirul Mukminin."
"Sekarang apa keperluanmu?"
"Aku ingin Tuan berkenan mempertemukan aku dengan orang yang melaporkan masalah ini kepadamu. Aku merasa penasaran ingin mengetahuinya."

Permintaan tersebut dikabulkan oleh Khalifah al-Manshur. Begitu dipertemukan, akhirnya jelas bahwa orang yang melaporkan itu adalah budak lelakinya sendiri yang telah cukup lama menghilang, tetapi ia masih ingat dan mengenalinya.

"Dia ini budakku, Amirul Mukminin," katanya, "Setelah mencuri uangku tiga ribu dinar, ia minggat. Dan, mungkin karena takut aku mencarinya, ia kemudian melaporkan aku kepada tuan yang bukan-bukan."
Setelah dimintai penjelasan dan ditakut-takuti oleh Khalifah al-Manshur, akhirnya budak itu mengakui semua perbuatannya yang tercela tersebut.
"Kami minta kamu memaafkannya," kata Khalifah.

"Sudah aku maafkan. Bahkan, aku memerdekakan dia. Selain mengikhlaskan uang tiga ribu dinar yang telah ia curi, aku juga ingin memberinya tiga ribu dinar lagi," katanya sambil menyerahkan sebuah bungkusan. Kemudian ia pun beranjak pergi.

Khalifah al-Manshur merasa kagum atas sikap warganya itu seraya berkata,
"Sungguh luar biasa dia!"
Sumber: al-Mustajad min Fa'alat al-Ajwad, at-Tanukhi
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


Sumiyah, ibunda Ziyad, adalah seorang wanita pelacur. Abu Sufyan bin Harb mengaku bahwa dirinya satu-satunya lelaki yang menghamili wanita itu. Jadi dia ayah Ziyad.

Suatu hari Khalifah Mu'awiyah naik ke atas mimbar, dan menyuruh Ziyad untuk berdiri di sampingnya.

"Saudara-saudara sekalian, sungguh aku sudah mengenal siapa Ziyad ini. Tetapi, siapa di antara kalian yang memiliki bukti, silakan ajukan!" kata Mu'awiyah kepada para hadirin.

Semua yang hadir berdiri seraya memberikan kesaksian bahwa Ziyad adalah putera Abu Sufyan. Oleh Mu'awiyah ia lalu diangkat sebagai penguasa Kufah merangkap Bashrah.
Pada hari penobatan Ziyad sebagai penguasa kedua wilayah tersebut diadakan upacara arak-arakan yang cukup meriah. Seorang lelaki buta dari suku Bani Makhzum yang biasa dipanggil Abul Urban ikut menonton di pinggir jalan.

"Siapa yang diangkat sebagai penguasa kali ini?" tanya Abul Urban kepada seseorang di sebelahnya.
"Ziyad bin Abu Sufyan," jawabnya.
"Apa? Setahuku Abu Sufyan tidak punya putera bernama Ziyad," kata Abul Urban.
"Jadi, Ziyad siapa?" tanya orang itu.
"Sungguh banyak hal yang telah dirusak Allah, banyak rumah yang telah dirobohkan-Nya, dan banyak budak yang telah dikembalikan-Nya kepada tuan-tuannya," jawab Abul Urban.

Seorang mata-mata kerajaan kebetulan mendengar ucapan Abul Urban tersebut. Ia lalu melaporkannya kepada Mu'awiyah. Khalifah ini segera mengirim seorang kurir membawa sepucuk surat berisi:
"Celaka kamu oleh ibumu. Setibanya suratku ini potonglah lidah laki-laki buta dan suku Bani Makhzum itu jika ia berani mengatakan lagi kalau kamu bukan putera Abu Sufyan."

Ketika si kurir hendak mohon diri, Ziyad menitipkan uang sebanyak seribu dinar untuk Khalifah Mu'awiyah, seraya berpesan:
"Sampaikan salamku kepadanya. Katakan kepadanya, aku baru bisa mengirim uang sejumlah ini. Gunakan lebih dahulu! Kali lain aku akan mengiriminya lagi."

Dengan ditemani seorang pengawal, esoknya Ziyad menemui laki-laki tunanetra dari Bani Makhzum itu.
Setelah mengucapkan salam, pengawal bertanya:
"Siapa orang yang bersamaku ini?"
"Dia pasti Ziyad bin Abu Sufyan," jawabnya dengan tegas.
Sepeninggal kedua tamunya, laki-laki tunanetra dari suku Bani Makhzum itu menangis seraya berkata,
"Demi Allah, aku mengenal persis siapa Abu Sufyan."
Sumber: Muhadharat al-Asibba, al-Raghib al-Ashfahani
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia



Di Kufah, Abu Hanifah mempunyai tetangga tukang sepatu. Sepanjang hari bekerja, menjelang malam ia baru pulang ke rumah. Biasanya ia membawa oleh-oleh berupa daging untuk dimasak atau seekor ikan besar untuk dibakar. Selesai makan, ia terus minum tiada henti-hentinya sambil bemyanyi, dan baru berhenti jauh malam setelah ia merasa mengantuk sekali, kemudian tidur pulas.

Abu Hanifah yang sudah terbiasa melaksanakan salat sepanjang malam, tentu saja merasa terganggu oleh suara nyanyian si tukang sepatu tersebut. Tetapi, ia diamkan saja. Pada suatu malam, Abu Hanifah tidak mendengar tetangganya itu bernyanyi-nyanyi seperti biasanya. Sesaat ia keluar untuk mencari kabarnya. Ternyata menurut keterangan tetangga lain, ia baru saja ditangkap polisi dan ditahan.

Selesai salat subuh, ketika hari masih pagi, Abu Hanifah naik bighalnya ke istana. Ia ingin menemui Amir Kufah. Ia disambut dengan penuh khidmat dan hormat. Sang Amir sendiri yang berkenan menemuinya.
"Ada yang bisa aku bantu?" tanya sang Amir.
"Tetanggaku tukang sepatu kemarin ditangkap polisi. Tolong lepaskan ia dari tahanan, Amir, " jawab Abu Hanifah.
"Baikiah," kata sang Amir yang segera menyuruh seorang polisi penjara untuk melepaskan tetangga Abu Hanifah yang baru ditangkap kemarin petang.

Abu Hanifah pulang dengan naik bighalnya pelan-pelan. Sementara, si tukang sepatu berjalan kaki di belakangnya. Ketika tiba di rumah, Abu Hanifah turun dan menoleh kepada tetangganya itu seraya berkata,
"Bagaimana? Aku tidak mengecewakanmu kan?"
"Tidak, bahkan sebaliknya." Ia menambahkan, "Terima kasih. Semoga Allah memberimu balasan kebajikan."

Sejak itu ia tidak lagi mengulangi kebiasaannya, sehingga Abu Hanifah dapat merasa lebih khusyu' dalam ibadahnya setiap malam.
Sumber: Al-Thabaqat al-Saniyyat fi Tajarun al-Hanafiyat, Taqiyyuddin bin Abdul Qadir al-Tammii
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


Ketika hendak melepas pasukan yang akan terjun ke dalam medan pertempuran, seorang jenderal yang dipercaya sebagai komandan menghadap Khalifah Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Setelah menanyakan tentang keadaan serta persiapan pasukan, Khalifah Mu'awiyah mengajak si jenderal berbincang-bincang sejenak. Namun tiba-tiba si jenderal mengeluarkan suara kentut. Seketika itu ia terdiam malu.
"Ayo, mulailah bicara. Demi Allah, aku lebih sering mendengar suara itu dari orang lain daripada diriku sendiri," kata Khalifah Mu'awiyah.
Sumber: Ansab al-Asyraf, al-Baladziri
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia



Sari al-Suqthi, seorang ulama ahli ilmu tauhid yang sangat wara' berkata, "Sudah tiga puluh tahun lamanya aku selalu membaca istighfar, dan baru sekali ini aku membaca alhamdulillah."
"Bagaimana ceritanya?" tanya seorang sahabatnya.
"Pada waktu terjadi peristiwa kebakaran di pasar Baghdad, seseorang dengan tergopoh-gopoh datang menemuiku seraya memberitahukan bahwa kedaiku selamat. Spontan aku berucap 'Alhamdulillah!' Tetapi, lantas aku menyesal, karena mensyukuri keberuntunganku sendiri di atas penderitaan orang banyak."jawabnya.
Sumber: Al-Wafi bi al-Wafyat, al- Shafadi
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia



Suatu hari al-Hajjaj berbekam. Ketika baru saja memulai pekerjaannya, si tukang bekam berkata, "Senang sekali seandainya Tuan mau menceritakan kepadaku tentang ceritamu dengan Ibnu al-Asy'ats. Maksudku mengapa ia sampai berani menentangmu?"

"Selesaikan dahulu pekerjaanmu ini. Nanti pasti akan aku ceritakan padamu," jawab al-Hajjaj.
Berkali-kali tukang bekam itu mengulangi permintaannya. Dan, berkali-kali pula al-Hajjaj meyakinkan bahwa ia akan memenuhinya setelah selesai berbekam. Begitu selesai berbekam dan membereskan segala sesuatunya, termasuk membersihkan darah, al-Hajjaj memerintahkan supaya memanggil si tukang bekam.

"Aku tadi sudah berjanji kepadamu akan mengungkapkan ceritaku dengan Ibnu al-Asy'ats. Bahkan, aku telah bersumpah segala." "Baiklah, sekarang akan aku penuhi," kata al-Hajjaj.
"Terima kasih, Tuan masih ingat," kata si tukang bekam.
Tiba-tiba al-Hajjaj berteriak memanggil pelayan agar mengambil cambuk. Tidak lama kemudian si pelayan muncul dengan membawa cambuk. Si tukang bekam disuruh telanjang. Setelah panjang lebar mengungkapkan cerita dirinya dengan Ibnu al-Asy'ats, al-Hajjaj lalu
menghajar si tukang bekam dengan cambuk sebanyak lima ratus kali, sehingga tubuhnya babak belur dan hampir mati.

"Aku telah penuhi janjiku kepadamu. Lain kali jika kamu memintaku menceritakan pengalamanku dengan selain Ibnu al-Asy'ats tentu akan aku penuhi lagi, asal dengan syarat seperti ini," kata al-Hajjaj.
Sumber: al-Wuzara, Hilal bin Muhsin al-Shabi'i
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


Alkisah, hiduplah pada zaman dahulu seorang yang terkenal dengan kesalehannya, bernama al-Balkhi. Ia mempunyai sahabat karib yang bernama Ibrahim bin Adham yang terkenal sangat zuhud. Orang sering memanggil Ibrahim bin Adham dengan panggilan Abu Ishak.

Pada suatu hari, al-Balkhi berangkat ke negeri orang untuk berdagang. Sebelum berangkat, tidak ketinggalan ia berpamitan kepada sahabatnya itu. Namun belum lama al-Balkhi meninggalkan tempat itu, tiba-tiba ia datang lagi. Sahabatnya menjadi heran, mengapa ia pulang begitu cepat dari yang direncanakannya. Padahal negeri yang ditujunya sangat jauh lokasinya. Ibrahim bin Adham yang saat itu berada di masjid langsung bertanya kepada al-Balkhi, sahabatnya. "Wahai al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau pulang begitu cepat?"

"Dalam perjalanan", jawab al-Balkhi, "aku melihat suatu keanehan, sehingga aku memutuskan untuk segera membatalkan perjalanan".
"Keanehan apa yang kamu maksud?" tanya Ibrahim bin Adham penasaran.
"Ketika aku sedang beristirahat di sebuah bangunan yang telah rusak", jawab al-Balkhi menceritakan, "aku memperhatikan seekor burung yang pincang dan buta. Aku pun kemudian bertanya-tanya dalam hati. "Bagaimana burung ini bisa bertahan hidup, padahal ia berada di tempat yang jauh dari teman-temannya, matanya tidak bisa melihat, berjalan pun ia tak bisa".

"Tidak lama kemudian", lanjut al-Balkhi, "ada seekor burung lain yang dengan susah payah menghampirinya sambil membawa makanan untuknya. Seharian penuh aku terus memperhatikan gerak-gerik burung itu. Ternyata ia tak pernah kekurangan makanan, karena ia berulangkali diberi makanan oleh temannya yang sehat".

"Lantas apa hubungannya dengan kepulanganmu?" tanya Ibrahim bin Adham yang belum mengerti maksud kepulangan sahabat karibnya itu dengan segera.

"Maka aku pun berkesimpulan", jawab al-Balkhi seraya bergumam, "bahwa Sang Pemberi Rizki telah memberi rizki yang cukup kepada seekor burung yang pincang lagi buta dan jauh dari teman-temannya. Kalau begitu, Allah Maha Pemberi, tentu akan pula mencukupkan rizkiku sekali pun aku tidak bekerja". Oleh karena itu, aku pun akhirnya memutuskan untuk segera pulang saat itu juga".

Mendengar penuturan sahabatnya itu, Ibrahim bin Adham berkata, "wahai al-Balkhi sahabatku, mengapa engkau memiliki pemikiran serendah itu? Mengapa engkau rela mensejajarkan derajatmu dengan seekor burung pincang lagi buta itu? Mengapa kamu mengikhlaskan dirimu sendiri untuk hidup dari belas kasihan dan bantuan orang lain? Mengapa kamu tidak berpikiran sehat untuk mencoba perilaku burung yang satunya lagi? Ia bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan hidup sahabatnya yang memang tidak mampu bekerja? Apakah kamu tidak tahu, bahwa tangan di atas itu lebih mulia daripada tangan di bawah?"

Al-Balkhi pun langsung menyadari kekhilafannya. Ia baru sadar bahwa dirinya salah dalam mengambil pelajaran dari kedua burung tersebut. Saat itu pulalah ia langsung bangkit dan mohon diri kepada Ibrahim bin Adham seraya berkata, "wahai Abu Ishak, ternyata engkaulah guru kami yang baik". Lalu berangkatlah ia melanjutkan perjalanan dagangnya yang sempat tertunda.

Dari kisah ini, mengingatkan kita semua pada hadits yang diriwayatkan dari Miqdam bin Ma'dikarib radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, yang artinya: "Tidak ada sama sekali cara yang lebih baik bagi seseorang untuk makan selain dari memakan hasil karya tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabiyullah Daud 'alaihis salam makan dari hasil jerih payahnya sendiri" (HR. Bukhari).



Suatu hari Utbah bin an-Nahhas al-Ajali berpidato sebagai berikut.
"Bagus sekali apa yang difirmankan Allah dalam Kitab-Nya, "Tidaklah kekal orang yang hidup di atas angan-angan...."
Serta merta Hisyam bin al-Kalbi menyanggahnya seraya berkata:
"Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung tidak pernah berfirman seperti itu. Itu ucapan penyair Ady bin Zaid."
"Subhanallah! Aku kira itu firman Allah. Bagus sekali ucapan Ady itu," kata Utbah sambil turun dari mimbar.
Pada hari yang lain, seorang wanita dari golongan kaum Khawarij dihadapkan pada Utbah.
"Hai perempuan musuh Allah! Mengapa kamu menentang Amirul Mukminin? Tidakkah kamu pemah mendengar firman Allah yang berbunyi, 'Diwajibkan perang.' Dan perang bagi kita serta bagi penyanyi-penyanyi perempuan adalah semudah menarik ekor?" katanya sok tahu.
"Yang membuatku menentang Amirul Mukminin adalah sikap sok tahumu terhadap kitab Allah," jawab wanita Khawarij tersebut.
Sumber: al-Fihrasat, Ibnu Nadim
Al-Islam - Pusat informasi dan Komunikasi islam Indonesia



Seorang lelaki mendatangi dokter mengeluhkan isterinya yang sudah lama belum juga bisa memberinya keturunan.
Setelah memeriksa denyut jantung si isteri, dokter berkata:
"Kamu tidak memerlukan obat penyubur. Sebab, berdasarkan pemeriksaan denyut jantung, empat puluh hari lagi engkau bakal meninggal."
Si isteri merasa ketakutan sekali mendengar keterangan dokter itu. Ia putus asa menjalani sisa kehidupan yang tinggal sebentar lagi. Akibatnya, ia tidak berselera makan dan minum.
Tetapi, sampai batas waktu empat puluh hari yang dikatakan dokter, ternyata ia masih hidup. Merasa penasaran, suaminya lalu menemui dokter untuk menanyakannya.
"Dokter, isteriku belum meninggal," katanya.
"Aku tahu itu,"jawab dokter. "Bahkan, insya Allah sebentar lagi ia akan mengandung."
Sang suami yang sebenarnya sudah pasrah atas suratan takdir Allah itu menjadi tidak habis pikir dengan keterangan dokter.
"Apa maksud dokter? Bagaimana itu bisa terjadi?" tanyanya penasaran.
"Begini," kata dokter, "Dulu aku lihat istrimu kegemukan, banyak lemak yang mengganggu pada bibir rahimnya. Aku sengaja menakutinya dengan kematian supaya ia bisa kurus. Dan temyata berhasil, sehingga sesuatu yang menyebabkan ia tidak bisa melahirkan menjadi hilang."
Sumber: al lhya' Ulum al Din, Imam al Ghazali
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam indonesia



Shuhaib al-Madani akan dijatuhi hukuman cambuk karena tertangkap basah meminum mmuman keras. Tubuh Shuhaib tinggi besar, sementara tubuh si algojo kurus pendek.
"Ayo membungkuk, supaya aku bisa mencambukmu," pinta algojo.
"Hai tolol! Emangye Lu mau ngajak aku makan manisan?" jawab Shuhaib.
Sumber: al-Basha'ir wa al-Dzakha'ir, Abu Hayyan al-Tauhidi
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


Rasyid bin Zubair adalah seorang yang mempunyai kharisma yang tinggi. Ia dari keturunan ningrat dan menguasai berbagai ilmu. Namun, sayangnya ia berwajah jelek, kulitnya hitam, bibir tebal, hidung pesek, dan bertubuh pendek.

Suatu ketika ia menceritakan pengalamannya di kota Kairo sebagai berikut:
"Suatu hari aku berjalan-jalan di kota Kairo. Aku bertemu seorang wanita berwajah cantik. Begitu melihatku, aku merasa ia terpesona padaku. Demikian pula dengan aku, sehingga aku lupa diri. Matanya memandang ke arahku, dan itu membuat sekujur tubuhku semakin gemetar terasa panas dingin."

"Aku ikuti ia yang masuk keluar gang. Akhirnya, ia berhenti di depan sebuah rumah. Sebelum masuk, ia sempat memberiku isyarat mata sambil menyingkapkan kain cadarnya. Aku semakin terlena melihat kecantikan wajahnya yang bagaikan bulan pumama."
Selanjutnya ia bertepuk tangan seraya memanggil nama, 'Ayo Halimah, kemarilah!' Seorang anak kecil perempuan berjalan menuju kearahnya. 'Kalau kamu ngompol lagi, biar dikremes tuan Qadii nanti!' ancamnya pada anak kecil itu.

Selanjutnya ia menoleh padaku dan berkata, "Oh, kamu. Mudah-mudahan Allah membalas kebaikanmu karena telah mengantarku."
Dengan rasa malu aku membalikkan badan, dan segera melangkah entah menuju ke mana.
Sumber: Mu' jam al Adibba', Yaqut
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia


Abdullah bin Syekh Hasan al Jibrati menikah dengan Fatimah binti Ramadhan Jalabi. Fatimah ini figur isteri yang baik dan berbakti. Di antara kebaikannya, ia biasa membelikan suaminya pakaian yang bagus-bagus dengan uangnya sendiri, demikian pula untuk membelikan pakaian serta perhiasannya sendiri.

Ia tidak pernah meminta uang kepada suami, atau menggunakan uang belanja keluarga. Begitu baiknya, sampai-sampai ia diam saja dan tidak merasa cemburu melihat suaminya suka membeli budak perempuan. Kesetiaannya tidak menjadi luntur; sama sekali tidak terpengaruh. Atas semua itu ia berharap beroleh balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah.
Pada tahun 1156 Hijriyah, Abdullah pergi haji. Di Mekah ia berkenalan dengan orang bemama Umar al Halbi. Ia dipesan untuk membeli seorang budak perempuan berkulit putih, masih perawan, dan bertubuh langsing. Pulang dari ibadah haji, ia mencari budak perempuan dengan ciri-ciri tersebut, dan cukup lama ia baru mendapatkannya.

Abdullah memperkenalkan budak perempuan yang baru dibelinya itu kepada isterinya. Tetapi sang istri sama sekali tidak tersinggung. Ia bahkan menganggapnya sebagai puterinya sendiri. Lama-kelamaan keduanya saling mencintai, dan tidak mau berpisah selamanya.
"Jadi bagaimana ini?" tanya Abdullah kepada isterinya.
"Begini saja,"jawab sang isteri, "Aku ganti uangnya, lalu kamu belikan budak yang lain."
"Baiklah," kata Abdullah setuju.
Oleh Fatimah, budak perempuan yang baru dibelinya itu dimerdekakan, dan dinikahkan dengan suaminya. Bahkan, ia menyediakan kamar tersendiri untuk madunya tersebut.

Pada tahun 1165 Abdullah memboyong isteri keduanya ini ke rumah sendiri. Tetapi, istri pertama tetap merasa berat untuk berpisah barang sesaat pun, meski ia telah memiliki beberapa orang anak.
Pada tahun 1182 isteri kedua jatuh sakit, lalu disusul oleh isteri pertama. Kian lama sakit keduanya kian parah. Tengah hari, isteri kedua memaksakan diri bangun dari pembaringan. Ia menangis melihat isteri pertama dalam keadaan pingsan. Ia berdoa, "Tuhan, jika Engkau takdirkan ia meninggal, jangan ia mendahuluiku."

Benar... Malamnya, isteri kedua itu meninggal dunia. Ia disemayamkan di samping isteri pertama. Saat menjelang subuh, ia siuman. Sambil meraba-raba ia membangunkan madunya. Namun, ia menjadi lunglai ketika diberitahu bahwa madunya sudah meninggal. Ia menangis melolong-lolong hingga tengah hari. Setelah ikut menyaksikan madunya dimandikan, ia pun kembali ke pembaringannya. Petang hari ia meninggal dunia, dan jenazahnya dimakamkan pada hari berikutnya.
Sumber: 'Aja'ib al Atsar, al Jibrati
Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia



Musa as: "Oh Tuhan, ajarilah kami sesuatu yang dapat kami gunakan untuk berzikir dan berdoa kepada Engkau."
Tuhan: "Ucapkan Laa Ilaaha Illallaah hai Musa!"
Musa as: "Oh Tuhan, semua hamba-Mu telah mengucapkan kalimat itu."
Tuhan: "Hai Musa, andaikan langit yang tujuh beserta seluruh penghuninya selain Aku, dan bumi yang tujuh ditimbang dengan Laa Ilaaha Illallaah, niscaya masih berat Laa Ilaaha Illallaah."
Sumber : 1001 Kisah-Kisah Nyata, Ahmad Sunarto



Seorang laki-laki mengaku sebagai penyair, tetapi masyarakat menanggapinya dengan dingin. "Kalian bersikap dingin kepadaku karena iri," katanya.
"Di tengah-tengah kita ada Basyar Al-Uqaili, penyair hebat. Sebaiknya biar dia yang mengujimu," kata mereka.
Selesai mendengar puisi-puisi karya orang itu, Basyar bilang:
"Kamu termasuk anggota keluarga Nabi."
"Maksudmu?" tanya laki-laki itu.
"Sebab, Allah berfirman, "Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya, dan bersyair itu tidak layak baginya," jawab Basyar.
Sumber: Al-Aqdal-Faridoleh, lbnu Abdi Rabih


Dalam suatu pertemuan penting, Muhammad bin Mubasyir, menteri urusan perang, diprotes oleh Mundzir bin Abduirahman, seorang ulama ahli ilmu nahwu, karena sang menteri pernah menyerukan kaum wanita ikut perang.
"Bagaimana engkau menyuruh kaum wanita ikut berperang bersama-sama laki-laki?"
Dengan pura-pura tidak paham, sang menteri memutarkan protes tersebut dan menjawab lain:
"Seumur hidup, baru kali ini aku mendengar saran yang begitu kejam. Allah saja menyuruh wanita supaya tetap tinggal di rumah, tetapi kenapa kamu malah menganjurkan supaya ikut berperang?"
Sumber: Thabaqat Al-Nahwiyyin wa Al-Lughawiyyin, Az-Zubaidi Al-Andalusi


Mekah menggelegak terbakar kebencian terhadap orang-orang Muslim karena kekalahan mereka di Perang Badr dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin dan bangsawan mereka saat itu. Hati mereka membara dibakar keinginan untuk menuntut balas. Bahkan karenanya Quraisy melarang semua penduduk Mekah meratapi para korban di Badr dan tidak perlu terburu-buru menebus para tawanan, agar orang-orang Muslim tidak merasa diatas angin karena tahu kegundahan dan kesedihan hati mereka.

Hingga tibalah saatnya Perang Uhud. Di antara pahlawan perang yang bertempur tanpa mengenal rasa takut pada waktu itu adalah Hanzhalah bin Abu Amir. Ayahnya adalah seorang tabib yang disebut si Fasik.

Hanzhalah baru saja melangsungkan pernikahan. Saat mendengar gemuruh pertempuran, yang saat itu dia masih berada dalam pelukan istrinya, maka dia segera melepaskan pelukan istrinya dan langsung beranjak untuk berjihad. Saat sudah terjun kekancah pertempuran berhadapan dengan pasukan musyrikin, dia menyibak barisan hingga dapat berhadapan langsung dengan komandan pasukan musuh, Abu Sufyan bin Harb. Pada saat itu dia sudah dapat menundukan Abu Sufyan, namun hal itu diketahui oleh Syaddad bin Al-Aswad yang kemudian menikamnya hingga meninggal dunia sebagai syahid.

Tatkala perang usai dimana kaum muslimin menghimpun jasad para syuhada dan akan menguburkannya, mereka kehilangan usungan mayat Hanzhalah. Setelah mencari kesana kemari, mereka mendapatkannya di sebuah gundukan tanah yang masih menyisakan guyuran air disana.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam mengabarkan kepada para shahabatnya bahwa malaikat sedang memandikan jasadnya. Lalu beliau bersabda, "Tanyakan kepada keluarganya, ada apa dengan dirinya?"
Lalu mereka bertanya kepada istrinya, dan dikabarkan tentang keadaannya sedang junub saat berangkat perang. Dari kejadian ini Hanzhalah mendapatkan julukan Ghasilul Malaikat (Orang yang dimandikan malaikat). Wallahu ta'ala 'alam
Sumber: Sirah Nabawiyah, Syeikh Shafiyyur Rahman Al Mubarakfury
Oleh: Abu Rumaysa Iwan Sutedi



Diceritakan, Ummul Banin Abdul Aziz bin Marwan, isteri Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik, pernah jatuh cinta kepada seorang penyair Yaman, bernama Wadlah yang berwajah cukup tampan.

Atas undangan rahasia Ummul Banin, penyair Yaman itu datang menemuinya di rumah; saat itu Khalifah Al-Walid sedang bepergian. Merasa takut ketahuan, ia menyembunyikan Wadlah di dalam sebuah peti lalu menutupnya rapat-rapat. Namun, mendadak seorang pelayan masuk dan sempat melihat ada seorang laki-laki dalam sebuah peti; Ia pura-pura tidak tahu.

Kebetulan Khalifah Al Walid tiba; pelayan itu langsung melaporkan apa yang baru saja dilihatnya; semula sang Khalifah tidak percaya.
"Tuan Amirul Mukminin, buktikan sendiri," kata pelayan.
Khalifah Al-Walid masuk ke kamar dan mendapati isterinya sedang menyisir rambut sambil duduk di atas sebuah peti.
"Isteriku, aku ingin memeriksa peti-peti di kamar ini," kata khalifah.
"Silakan, peti-peti ini memang milikmu, Amirul Mukminin," jawab isterinya.
Khalifah menimpali, "Tetapi aku hanya ingin satu peti saja."
"Silakan, mana yang engkau inginkan - ambillah."
"Peti yang kamu duduki itu, " sahut khalifah.
Ummul Banin terperangah mendengarnya; sekujur tubuhnya terasa gemetar; perasaannya kalut. Namun, ia mencoba untuk menutupi semua itu.
"Yang lainnya malah lebih baik. Lagi pula, di peti yang satu ini ada barang-barang keperluanku, " tutur isterinya.
Khalifah menjawab, "Aku menginginkan yang satu ini saja."
Dengan rasa putus asa, isterinya menjawab, "Ambillah, kalau begitu."

Khalifah Al-Walid segera memerintahkan seorang pelayan untuk mengangkat peti tersebut ke halaman belakang istana, dan meletakkannya di bibir sumur tua. Ummul Banin, isteri khalifah, menatap sedih sambil menangis dari kejauhan; ia tidak berani mendekat. Ia tidak tahu nasib apa yang akan menimpa laki-laki simpanannya itu; hatinya gundah gulana.
Pelan-pelan, Khalifah Al-Walid menghampiri peti tersebut (sebenarnya ia sangat marah, namun ia berusaha menahannya).

"Hai orang yang ada dibdalam peti, kalau berita yang kami dengar adanya, berarti kami menguburmu, berikut kenangan manismu untuk selamanya. Tetapi, jika kabar itu bohong, berarti kami hanya mengubur kayu," kata Khalifah sambil melemparkan peti ke dasar sumur.
Setelah menyuruh menimbunnya dengan pasir sampai rata dengan tanah, Khalifah masuk ke istana. Sejak itu, penyair Yaman bernama Wadlah tidak pernah tampak. Ummul Banin tidak melihat ada kemarahan pada wajah suaminya, hingga kematian memisahkan mereka berdua.
Sumber: Wafyat Al-A'yan, Ibnu Khalkan



Seorang pemuda tiba di Baghdad dalam perjalanannya menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Ia membawa seuntai kalung senilai seribu dinar. Ia sudah berusaha keras untuk menjualnya, namun tidak seorang pun yang mau membelinya. Akhirnya ia menemui seorang penjual minyak wangi yang terkenal baik, kemudian menitipkan kalungnya. Selanjutnya ia meneruskan perjalanannya.

Selesai menunaikan ibadah haji ia mampir di Baghdad untuk mengambil kembali kalungnya. Sebagai ucapan terima kasih ia membawa hadiah untuk penjual minyak wangi itu.
"Saya ingin mengambil kembali kalung yang saya titipkan, dan ini sekedar hadiah buat Anda," katanya.
"Siapa kamu? Dan hadiah apa ini?," tanya penjual minyak wangi.
"Aku pemilik kalung yang dititipkan pada Anda," jawabnya mengingatkan.
Tanpa banyak bicara, penjual minyak wangi menendangnya dengan kasar, sehingga ia hampir jatuh terjerembab dari teras kios, seraya berkata, "Sembarangan saja kamu menuduhku seperti itu."

Tidak lama kemudian orang-orang berdatangan mengerumuni pemuda yang malang itu. Tanpa tahu persoalan yang sebenarnya, mereka ikut menyalahkannya dan membela penjual minyak wangi. "Baru kali ada yang berani menuduh yang bukan-bukan kepada orang sebaik dia," kata mereka.
Laki-laki itu bingung. Ia mencoba memberikan penjelasan yang sebenarnya. Tetapi mereka tidak mau mendengar, bahkan mereka mencaci maki dan memukulinya sampai babak belur dan jatuh pingsan.

Begitu siuman, ia melihat seorang berada di dekatnya. "Sebaiknya kamu temui saja Sultan Buwaihi yang adil; ceritakan masalahmu apa adanya. Saya yakin ia akan menolongmu," kata orang yang baik itu.
Dengan langkah tertatih-tatih pemuda malang ini menuju kediaman Sultan Buwaihi. Ia ingin meminta keadilan. Ia menceritakan dengan jujur semua yang telah terjadi.
"Baiklah, besok pagi-pagi sekali pergilah kamu menemui penjual minyak wangi itu di tokonya. Ajak ia bicara baik-baik. Jika ia tidak mau, duduk saja di depan tokonya sepanjang hari dan jangan bicara apa-apa dengannya. Lakukan itu sampai tiga hari. Sesudah itu aku akan menyusulmu. Sambut kedatanganku biasa-biasa saja. Kamu tidak perlu memberi hormat padaku kecuali menjawab salam serta pertanyaan-pertanyaanku," kata Sultan Buwaihi.

Pagi-pagi buta pemuda itu sudah tiba di toko penjual minyak wangi. Ia minta izin ingin bicara, tetapi ditolak. Maka seperti saran Sultan Buwaihi, ia lalu duduk di depan toko selama tiga hari, dan tutup mulut.
Pada hari keempat, Sultan datang dengan rombongan pasukan cukup besar. "Assalamu'alaikum," kata Sultan.
"Wa'alaikum salam," jawab pemuda acuh tanpa gerak.
"Kawan, rupanya kamu sudah tiba di Baghdad. Kenapa Anda tidak singgah di tempat kami? Kami pasti akan memenuhi semua kebutuhan Anda," kata Sultan.

"Terima kasih," jawab pemuda itu acuh, dan tetap tidak bergerak.
Saat Sultan terus menanyai pemuda ini, rombongan pasukan yang berjumlah besar itu maju merangsak. Karena takut dan gemetar melihatnya, si penjual minyak wangi jatuh pingsan. Begitu siuman, keadaan di sekitarnya sudah lengang. Yang ada hanya sang pemuda, yang masih tetap duduk tenang di depan toko. Penjual minyak wangi menghampirinya dan berkata:
"Sialan! Kapan kamu titipkan kalung itu kepadanya? Kamu bungkus dengan apa barang tersebut? Tolong bantu aku mengingatnya."
Si Pemuda tetap diam saja. Ia seolah tidak mendengar semuanya. Penjual minyak wangi sibuk mondar-mandir kesana kemari mencarinya. Sewaktu ia mengangkat dan dan membalikkan sebuah guci, tiba-tiba jatuh seuntai kalung.
"Ini kalungnya. Aku benar-benar lupa. Untung kamu mengingatkan aku," katanya.
Sumber: Akhbar Adzkiya, Ibn Al-Jauzi



Abdurrahman bin Al-Hakam, Amir Andalusia, mengundang sejumlah ahli fiqih di kediamannya. Ia sedang menghadapi masalah pelik. Pada siang hari bulan Ramadhan telah melakukan hubungan seksual dengan budak perempuannya. Saat itu ia benar-benar tidak sanggup menahan hasrat birahinya. Ia ingin bertanya kepada para ulama ahli fiqih bagaimana cara bertaubat dan membayar kafarat.

"Selain bertaubat kepada Allah dengan sungguh-sunguh, Engkau harus berpuasa dua bulan berturut-turut," kata seorang ulama bernama Yahya bin Yahya Al-Laitsi.

Ulama-ulama yang lain diam saja: tak seorang pun menyanggahnya, mendengar jawaban Yahya tersebut. Tetapi, begitu keluar dari kediaman sang Amir, beberapa ulama menghampiri Yahya dan bertanya, "Mengapa engkau tadi tidak memberikan fatwa berdasarkan Imam Malik? Sehingga ia bisa memilih tiga saksi secara berurutan: memerdekakan budak, atau memberikan makan sejumlah orang miskin, baru berpuasa selama dua bulan berturut-turut."

"Kalau itu yang aku sampaikan, keenakan dia, mungkin setiap hari akan mengulangi perbuatannya itu karena baginya memerdekakan budak itu masalah yang ringan. Aku sengaja pilihkan yang paling berat, supaya tidak mengulanginya lagi." jawab Yahya.
Sumber: Wafyat Al-A'yan, Ibnu Khalkan
Previous
Next Post »