HUKUM BERSENGGAMA / JIMA' SAAT HAMIL

Bersenggama Saat Hamil


ي - وَطْءُ الْحَامِل :
56 - اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِ وَطْءِ الْحَامِل :
فَقَال أَبُو جَعْفَرٍ الطَّحَاوِيُّ : ذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى كَرَاهَةِ وَطْءِ الرَّجُل امْرَأَتَهُ إِذَا كَانَتْ حُبْلَى ، وَاحْتَجُّوا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ سِرًّا، فَإِنَّ الْغَيْل يُدْرِكُ الْفَارِسَ فَيُدَعْثِرُهُ عَنْ فَرَسِهِ (3) .
__________
(3) حديث : " لا تقتلوا أولادكم سرا . . " أخرجه أبو داود ( 4 / 211 ) من حديث أسماء بنت يزيد بن السكن .

وَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى حِل وَطْءِ الْحَامِلِ، وَاسْتَدَلُّوا بِمَا وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَال : إِنِّي أَعْزِل عَنِ امْرَأَتِي، فَقَال لَهُ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لِمَ تَفْعَل ذَلِكَ ؟ فَقَال الرَّجُل : أُشْفِقُ عَلَى وَلَدِهَا، فَقَال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنْ كَانَ لِذَلِكَ فَلاَ ، مَا ضَارَّ ذَلِكَ فَارِسَ وَلاَ الرُّومَ (1) .
قَال الطَّحَاوِيُّ : فِي هَذَا الْحَدِيثِ إِبَاحَةُ وَطْءِ الْحَبَالَى، وَإِخْبَارُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ ذَلِكَ إِذَا كَانَ لاَ يَضُرُّ فَارِسَ وَالرُّومَ فَإِنَّهُ لاَ يَضُرُّ غَيْرَهُمْ .
وَاسْتَدَلُّوا أَيْضًا بِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ حَتَّى ذَكَرْتُ أَنَّ الرُّومَ وَفَارِسَ يَصْنَعُونَ ذَلِكَ فَلاَ يَضُرُّ أَوْلاَدَهُمْ (2) .
فَفِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَمَّ بِالنَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ حَتَّى بَلَغَهُ، أَوْ حَتَّى ذَكَرَ أَنَّ فَارِسَ وَالرُّومَ يَفْعَلُونَهُ فَلاَ يَضُرُّ أَوْلاَدَهُمْ .
وَفِي ذَلِكَ إِبَاحَةُ مَا قَدْ حَظَرَهُ الْحَدِيثُ الَّذِي اسْتَدَل بِهِ الْقَائِلُونَ بِكَرَاهَةِ وَطْءِ الْحَامِل (3) .
__________
(1) حديث : " إن كان لذلك فلا . . " أخرجه مسلم ( 2 / 1067 ) .
(2) سبق تخريجه ف52 .
(3) شرح معاني الآثار 3 / 46 - 48، وفيض القدير 5 / 280 .

****************************************

Menurut sebagian ulama seperti yang dikemukakan oleh Abu ja’far at-Thohaawy menghukumi makruhnya persetubuhan dengan istri saat sedang hamil berdasarkan hadits Nabi :

”Janganlah kalian membunuh anak kalian secara pelan-pelan, karena sesungguhnya air yang mengalir akan menyusul sang penunggang kemudian merobohkan kudanya” (HR.Abu Daud IV/211 riwayat dari Asma Binti Yaziid Bin Assakn)

Namun menurut kalangan mayoritas Ulama Ahli Fiqh menyatakan halal dan bolehnya mensetubuhi istri di saat hamil, mereka berpijak pada hadits Nabi :

1.>> Sesungguhnya datang seorang lelaki pada Rosulullaah shallaahu ‘alaihi wa sallam dan berkata :
”Aku menjalani ‘azl (senggama terputus) pada istriku”
”Kenapa kau menjalaninya ?” Tanya Rosulullah
“Aku kasihan pada anaknya” Jawab lelaki itu
Kemudian Rosulullah bersabda “Bila karena hal tersebut (kehamilannya) sebenarnya tidak masalah, karena orang Persia dan Rum juga tidak menyatakan bahaya”. (HR Muslim II/1067)

Mengenai hadits ini At-Thohaawy berpendapat : Hadits ini menunjukkan bolehnya menjalankan persetubuhan disaat hamil, Nabi memberitahu orang-orang bangsa Persia dan Romawi menjalaninya dan tidak terjadi bahaya tentunya bagi orang-orang dari bangsa lain juga tidak.

2.>> Pijakan yang digunakan oleh para ulama tentang bolehnya mensetubuhi istri disaat hamil juga berupa hadits

“Sesungguhnya Aku hendak melarang ghilah, tetapi aku teringat bahwa bangsa Romawi dan Persia melakukan hal itu dan itu tidak membahayakan anak-anak mereka" (HR. Muslim)
*Ghilah = bersetubuh dengan istri ketika hamil.

Dalam hadits ini dinyatakan bahwa Nabi hendak melarang persetubuhan saat hamil namun kemudian beliau mendengar berita atau ingat bahwa bangsa Romawi dan Persia melakukannya dan itu tidak membahayakan anak-anak mereka, maka kemudian persetubuhan dalam keadaan seperti inipun tidak dilarang (selagi tidak menyakiti pasangan suami istri).

Dua hadits diatas menunjukkan diperbolehkannya persetubuhan ini sekaligus melemahkan dasar hadits yang dipakai pijakan orang-orang yang memakruhkannya. (Syarh Ma’aani al-Aatsaar IV/46-48, Faidh alQadiir V/280)

AlMausuu’ah AlFiQhiyyah 31/344
Previous
Next Post »