Imam Syafi’I, Ar-Risalah dan Al-Umm, Dua Karya Agung yang Terus Dikaji Sampai Kini (Bagian Ke-5 Habis)



Tak bisa dipungkiri, bahwa Ar-Risalah, karya utama Imam Syafii, merupakan kitab yang pertama kali meletakkan dasar-dasar teori hukum Islam (Ushul Fiqh) tersebut. Sampai detik ini kitab tersebut telah menjadi rujukan siapapun yang ingin mengetahui dan mendalami Ushul Fiqh. Selain itu ada juga kitab Al-Umm, Masterpiece (karya besar) sang Imam yang juga tak kalah pentingnya. Perbedaannya kalau kitab Ar-Risalah lebih banyak membahas pada tataran teoritis atau landasan Istimbath al-Hukm (pembentukan suatu hukum) sedangkan Al-Umm, sudah memesuki wilayah praktis (hasil Ijtihad sang Imam ihwal  masalah-masalah Fiqh).
imam syafiiDua kitab inilah yang kemudian menghantarkan Imam Syafi’i sebagai bintang Zaman Kaum Sunni di dunia Islam. Padahal dikalangan Sunni – suatu istilah yang disematkan pada kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, yakni orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi SAW dan mayoritas sahabatnya, baik dalam syariat maupun akidah – banyak Imam-Imam lainnya yang juga terkenal ilmu dan kepandaiannya. Imam Hanafi, Malik, dan Hambali, misalnya. Berikut ini ulasan singkat dua kitab tersebut.

Ar-Risalah, Kitab Ushul Fiqh Tiada Duanya

Al-Muzanni berkata, “Saya telah membaca kitab Ar-Risalah Imam Syafi’i sebanyak 50 kali. Setiap membacanya, saya selalu memperoleh faedah yang berbeda-beda.”. menurut Imam Ahmad bin Hambali, “Kalau bukan karena Syafi’i, saya tidak bakal mengetahui Fiqh Hadis.” demikianlah para sahabat dan sekaligus murid Imam Syafi’i menuturkan kekagumannya terhadap kitab Ar-Risalah, kitab pertama yang di tulis Imam Syafi’i.
Dahulu, kitab ini tidak bernama Ar-Risalah. DR. Ahmad Muhammad bin Syakir, penyunting kitab Ar-Risalah dalam pengentarnya mengatakan bahwa Imam Syafi’i tidak menamakan kitabnya Ar-Risalah, melainkan dengan nama Al-kitab. Berkali-kali dalam karyanya, Syafi’i menyebut-nyebut kata Alkitab, entah itu kata Kitabi, ataukitabuna. Demikian juga dalam kitab Al-Umm, Syafi’i selalu menisbahkan karya pertamanya itu dengan kata Alkitab (Al-Umm. Hal: 253).
Menurutnya, sebab Imam Syafi’i menamakan kitabnya dengan Ar-Risalah karena surat menyurat dengan Abdurrahman bin Mahdi. Saat itu, Syafi’i menulis Ar-Risalah atas permintaan Abdurrahman bin Mahdi di Mekah. Abdurrahman meminta Imam Syafi’i untuk menuliskan suatu kitab yang mencakup ilmu tentang Alqur’an, hal ihwal yang ada dalam Al-Qur’an dan disertai juga dengan hadis Nabi. Kitab ini setelah dikarang, disalin oleh murid-muridnya dan dikirim ke Mekah. Itulah sebabnya kitab itu dinamai kitab Ar-Risalah. Kitab ini di tulis di Baghdad selama kunjungan kedua Imam Syafii di kota itu dan kemudian diperbaiki ketika pindah ke Mesir pada tahun 814 M. setelah itu, Ar-Risalah kemudian melambungkan namanya sebagai intelektual muslim yang pertama kali meletakkan azas-azas ilmu Ushul Fiqh.
Dalam kitab inilah, metode pembentukan hukum genius ala Syafi’i terkuak. Ia menggunakan empat dasar dalam mengistaimbathkan suatu hukum yaitu, Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. “Tidak boleh bagi seseorang mengatakan suatu masalah dengan kata ini halal dan ini haram kecuali sudah memiliki pengetahuan tentang hal itu. Pengetahuan tersebut adalah Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas,” tutur Imam Syafi’i dalam kitabnya.
Imam Syafi’i dalam karya yang di diktekan langsung kepada muridnya, Rabi’ bin Sulaiman, mengidentikkan Ijtihad dengan Qiyas. Ia menyimpulkan bahwa ijtihad adalah Qiyas. Dan pada titik lain, ia menolak dengan tegas metode Ihtihsan, sebuah metode pemikiran yang dianggap hanya berdasarkan pemikiran bebas manusia atas dasar kepentingan dan perilaku individual. Kata Syafi’i Istihsan adalah pengambilan hukum yang melulu menuruti kesenangan semata (Hal. 503-507).
Imam Syafi’i memang telah meninggalkan jejak pemikiran yang sangat luar biasa. Buktinya syarat-syarat ijtihad yang di rumuskannya dalam Ar-Risalah sampai saat ini terus dipakai pakar-pakar hukum Islam. Siapapun yang ingin berijtihad harus melampoi syarat-syarat ini. Diantaranya harus mengetahui bahasa Arab, materi hukum Al-Qur’an, bahasa yang bersifat umum dan khusus, dan mengetahui teori Nasakh.
Kemudian seorang ahli fikih, menurut Imam Syafi’i, harus bisa menggunakan Sunnah dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tegas dan jelas. Ketika ia tidak menemukan dalam Sunnah, ia harus mengetahui adanya konsensus (kesepakatan) yang mungkin menginformasikan kasus-kasus yang ada. Terakhir, jelas Imam Syafi’i, seorang ahli fikih harus dewasa, sehat, dan siap sepenuhnya menggunakan kemampuan intelektualnya untuk menyelesaikan kasus.
Kriteria ini, di kemudian hari, menuai puji dan kritikan. Banyak para pemikir setelah Imam Syafi’i yang menganggap persyaratan ini terlalu keras sehingga banyak orang yang takut memasuki wilayah ijtihad. Hal ini diperparah oleh kemunduran ilmu fikih sekitar abad ke IV H hingga akhir abad ke XIII H. saat itu terkenal dengan periode “Taqlid” dan periode “Tertutupnya pintu ijtihad”. Pengaruh tersebut begitu dahsyat sampai sekarang ini.
Melalui kitab ini, Imam Syafi’i terkenal sebagai pemikir yang moderat. Tidak berpihak kepada salah satu kecendrungan besar sebuah pemikiran, entah itu ahli hadis (para pemikir muslim yang mengutamakan hadis) ataupun ahli Ra’yu (para pemikir muslim yang mengutamakan akal).
Tidak aneh bila para intelektual modern sepakat bahwa Imam Syafi’i sangat berjasa sebagai pendiri ilmu Ushul Fiqh. Ar-Risalah Syafi’i, tidak hanya dianggap sebagai karya pertama yang membahas materi tersebut, sebagai model bagi ahli-ahli fikih dan para teoritisi yang datang kemudian guna mengikutinya.
Pada akhirnya Imam Syafi’i menutup karyanya ini dengan bab Ikhtilaf. Bab ini menunjukkan bahwa Imam Syafii mencintai perbedaan dan menghargai pendapat orang lain.

Al-Umm, Puncak Ijtihad Sang Imam

Secara bahasa, Al-Umm, berarti Ibu. Memang sang Imam bermaksud menulis maha karya keduanya ini sebagai kitab induk yang menjelaskan secara terperinci tentang ilmu fikih. Ini adalah sebuah tulisan yang lebih mengedepankan praktek hukum Islam ketimbang teori hukum Islam.
Dalam kitab ini, sebelum melangkah lebih jauh mengupas bab-bab khusus masalah-masalah fikih, Imam Syafi’i kembali meneguhkan metode pembentukan hukumnya sebagaimana dinyatakan dalam kitab terdahulu, Ar-Risalah.
Ia menjelaskan sumber-sumber pembentukan mazhabnya  bahwa ilmu itu bertingkat-tingkat.
  1. Ilmu yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, apabila telah tetap kesahihannya.
  2. Ilmu yang didapat dari Ijma’ dalam hal-hal yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
  3. Fatwa sebagian sahabat yang tidak diketahui ada sahabat yang menyalahinya.
  4. Pendapat yang diperselisihkan dikalangan sahabat.
  5. Qiyas, apabila tidak dijumpai hukumnya dalam keempat dalil di atas.
Seseorang tidak boleh berpegang kepada selain Al-Qur’an, Sunnah dan beberapa tingkatan tadi selama hukumnya terdapat dalam dua sumber itu. Ilmu diambil dari tingkatan yang lebih di atas dari tingkatan-tingkatan tersebut.
Dalam Al-Umm, Imam Syafi’i lebih banyak memuat fatwa-fatwa baru (Qaul Jadid)-nya yang di susun sewaktu dia mengembara ke Mesir. Kitab ini merupakan perbaikan dan penyempurnaan dari kitab Al-Hujjah yang dikarangnya sewaktu dia berada di Baghdad. Kitab yang lebih menekankan hadis-hadis fikih ini di tulis melalui pendektean kepada murid-muridnya. Mereka adalah, Yusuf bin Yahya al-Buwaithi, Ali Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzanni dan Imran al-Rabi’ bin Sulaiman al-Marawi. Mereka bertigalah yang telah berperan dalam mengumpulkan dan meriwayatkan Qaul Jadid Imam Syafi’i tersebut, sehingga jika ada perbedaan nukilan dari Syafi’i, maka riwayat dari salah seorang dari ketiganyalah yang dianggap lebih dapat dipercaya.
Bagi Imam Syafi’i, Qaul Jadid yang terangkum dalam Al-Umm ini merupakan puncak ijtihadnya sebagai pemikir muslim. Ia menganggap Al-Umm adalah hasil akhir penelitiannya selama mengembara ke berbagai tempat. Harapan Imam yafii pun terkabul. Tidak tanggung-tanggung, kitab sebanyak lima jilid ini – sampai sekarang – telah menjadi sumber otentik mazhab Syafii yang utama. Bahkan salah satu muridnya, Al-Muzani meringkas sebuah kitab khusus yang diambil berdasarkan kitab Al-Umm Imam Syafi’i. “Mukhtashar Al-Muzani, judul kitab tersebut.
Komposisi pasal atau bab-bab dalam kitab Al-Umm itu agak mirip dengan kitab-kitab fikih lainnya, mulai dari bab Thaharah (bersuci), persyaratan air dalam berwudu, tata cara berwudu dan hal-hal yang membatalkannya, tata cara mandi junub, tayamum, masalah bagi wanita haid dan seterusnya hingga bab-bab lainnya.
Sebanyak 128 masalah hukum dibahas dalam Al-Umm. Ia banyak mengupas masalah-masalah hadis fikih yang kemudian di ikuti dengan pendapatnya sendiri atau justru sebaliknya. Selain itu dalam Al-Umm, Imam Syafi’i juga menyajikan berbagai pendapat di dalam mazhab-mazhab. Sebagai contoh, kitab ini berisi topik-topik seperti perbedaan antara Ali dan Ibnu Mas’ud, ketidak sesuaian antara Imam Syafi’i dan Imam Malik, penolakan Al-Syaibani terhadap sejumlah doktrin mazhab Madinah, perselisihan diantara Abu Yusuf dan Ibnu Abi Laila.
Di atas itu semua, Al-Umm menggarap topik kegemaran Imam Syafii, yakni serangan terhadap mereka yang menolak keseluruhan batang tubuh tradisi dalam perumusan ketentuan-ketentuan hukum Islam dan ketidak bersediaan beliau menerima Istihsan (Preferensi) sebagai sumber hukum. Wallahu ‘alam bis Shawab.
Previous
Next Post »