Imam Syafi’i, Waliyullah, Waliyul’ilmi (Bagian Ke-1)



Catatan Redaksi: Nama Imam Syafi’i sangat harum. Kealiman dan Ketinggian akhlaknya diakui pelbagai kalangan di segala zaman. Jika menurut Nabi SAW setiap seratus tahun Allah SWT mengutus kepada umat seseorang yang memperbaharui urusan agama. Imam Syafi’i disebut-sebut sebagai salah orang yang memperbaharui urusan agama itu di abad kedua Hijriyah. Pada kesempatan ini selama 5 hari berturut-turut SUFIZ.COM akan menurunkan 5 seri tulisan tentang Imam Syafi’i. Selamat membaca …


Imam Syafii adalah sebuah fenomena, ibarat air sumur, ia tidak pernah habis direguk. Buah pikirannya tentang hukum terus dikaji hingga saat ini. “Kedudukan Imam Syafii terhadap Ilmu Ushul Fiqh sama dengan kedudukan Aristoteles dalam ilmu Logika,” demikian menurut Fakhruddin Ar-Razi (W.606 H/ 1209 M) memuji sang Imam pada salah satu Manaqib Syafi’i  (karya sastra tentang keutamaan intelektual Syafii). Bahkan Imam Hambali, yang murid Imam Syafi’i, mengatakan bahwa Imam Syafi’i itu seperti Matahari-nya dunia.
imam syafiiImam Syafi’i adalah Imam besar sepanjang masa. Hidup dimasa setelah sahabat (Tabi’in) ia melahirkan banyak sekali pandangan yang menjadi standar bagi rujukan hukum Islam di dunia. Pandangan serta kajian hukum islam yang dihadirkannya dikemudian hari menjadi mazhab Syafi’i. Mazahab Syafi’i merupakan mazhab yang populer di Indonesia. Makanya kemudian diyakini bahwa perkembangan Islam yang ada di Indonesia, termasuk yang dimotori oleh Walisongo, bersendi pada pandangan-pandangan agama hasil ijtihadnya.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah SAW pada kakeknya, Abdul Manaf, karena itu Imam Syafi’i sering disebut anak paman Rasul. Ia lahir di Gaza, Palestina, saat Tarikh Islam menunjuk angka 150 H (767 M). pendapat lain mengatakan, ia lahir di Asqalan, sebuah daerah berjarak delapan kilometer dari Gaza. Pendapat lain menyebut, ia lahir di Yaman. Pendapat terakhir berdalil pada riwayat bahwa seorang ulama bernama Yaqut mengaku pernah mendengar Imam Syafi’i berkata mengenai kelahirannya:
“Aku lahir di Yaman, karena Ibuku khawatir akan masa depanku, aku pindah dari sana ke Makkah.”
Beberapa pakar mengambil kesimpulan, mereka membenarkan bahwa Imam Syafi’i lahir di Gaza, kemudian pindah ke Asqalan, karena kebanyakan penduduknya dari Yaman, kemungkinan hal itulah yang menjadi dasar pendapat bahwa Imam Syafii lahir di Yaman.
Diriwayatkan pula bahwa Imam Syafi’i lahir pada malam hari bersamaan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi). Banyak ulama memandang hal ini sebagai keutamaan tersendiri, karena disaat seorang ulama besar wafat, Imam penggantinya sudah dilahirkan.
Imam Syafi’i melewati masa kecilnya sebagai Yatim. Tidak ada tahun pasti kapan ayah Imam Syafi’i wafat. Namun imam Syafi’i diyakini masih sangat kecil saat sang ayah meninggal dunia. Kenyataan itu yang menyebabkan kesulitan hidup luar biasa pada keluarga Imam Syafi’i. Sang ibu pun memutuskan pindah ke Mekah. Dalam perjalanan keilmuannya, kepindahan ini memberi banyak pengaruh, karena lingkungan Mekah memiliki iklim keilmuan yang baik.
Di Mekah Imam Syafi’i kecil belajar memanah, baca tulis dan ilmu agama Islam. Tiga disiplin ilmu yang wajib dipelajari setiap anak waktu itu. Kehormatan serta kedudukan seseorang di masyarakat tergantung pada penguasaan tiga disiplin itu. Pada ketiga disiplin ilmu itulah Imam Syafii menunjukkan karamahnya.
Pada usia 9 (sembilan) tahun ia sudah menyelesaikan pelajaran baca tulis dengan amat baik. Tidak hanya itu, Imam Syafi’i berhasil menghafal Al-Qur’an dan beberapa hadits Nabi SAW. Kefasihan bahasa Arab serta penguasaannya terhadap kaidah bahasa juga sudah kelihatan pada usia sebelia itu.
Di bidang bahasa Imam Syafi’i sempat belajar ke Bani Huzali yang terkenal sebagai kabilah yang baik bahasanya. Pelajaran syair juga ia serap. Seorang ahli tata bahasa dan sastra terkemuka dari Basrah saat itu, Al-Asma’i, menyebut, “Syair-syair Bani Huzali telah diperbaharui oleh seorang pemuda Quraisy bernama Muhammad bin Idris, Syafi’i.”
Menginjak usia belasan tahun, Imam Syafi’i sudah terkenal sebagai seorang remaja ahli memanah. Apabila Imam Syafi’i melepaskan sepuluh anak panah, sepuluh anak panah itu akan menemui sasaran tanpa satupun yang meleset. Keutamaan Imam Syafi’i yang telah terlihat tanda-tandanya itu semakin jelas saat seorang ulama di Mekah, Muslim bin Khalid Al-Zanji, berjumpa dengannya. Setelah memperhatikan dengan seksama, Muslim berkata kepada Imam Syafi’i, “Luar biasa! Sungguh Allah telah memuliakan Anda di dunia dan di akhirat. Sebaiknya keutamaan yang Anda miliki itu dicurahkan dalam ilmu fikih, itu lebih baik bagimu.”
Sebenarnya Imam Syafi’i memang tidak puas dengan apa yang dikuasai saat itu. Beberapa temannya juga menyarankan agar dirinya memperdalam ilmu fikih. Ia pun memulai babak baru dalam kehidupannya. Kepada Muslim bin Khalid, ia mulai belajar mengenai fikih. Dalam pengawasannya, Imam Syafi’i tumbuh pesat sebagai ahli hukum muda, bahkan Muslim memperbolehkan Imam Syafii berfatwa di masa remajanya itu.
Setelah menimba ilmu di Makkah, Imam Syafi’i menghafal Kitab Muwatha, karangan Imam Malik, Imam besar di Tanah Nabi, Madinah, dan pendiri Mazhab Maliki. Diriwayatkan kitab hadis pertama yang memuat ribuan hadis itu dihafal Imam Syafii hanya dalam sembilan hari.
Ketika Imam Malik berjumpa Imam Syafi’i, menyatakan kekaguman dan isyarat kemuliaan Imam Syafii. “Sesungguhnya Allah telah SWT telah menaruh cahaya dalam hatimu, jangan kau padamkan dengan perbuatan maksiat,” ujar Imam Malik. Imam Syafi’i menimba ilmu dari tahun 164 H sampai sang guru meninggal pada tahun 174 H.
Previous
Next Post »