Sekalipun kehidupan guru yang paling berpengaruh dalam perjalanan keilmuannya, sudah meninggal dunia, Imam Syafi’i tidak surut, ia melanjutkan mencari ilmu di Yaman. Di sana ia menemukan kitab fikih peninggalan Muadz bin Jabal, sahabat Nabi SAW, yang ia terima dari Mutraf bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf, dua ulama Yaman. Di sana pula Imam Syafi’i mempelajari fikih peninggalan Auzal, seorang Faqih dari Syam, juga Fikih Al-Lais dari Mesir.
Perlu juga diketahui, dalam menuntut ilmu, Imam Syafi’i terbiasa prihatin. Kemiskinan yang melanda keluarganya, telah memaksa Imam Syafi’i mengumpulkan potongan keramik, pelepah kurma dan tulang-tulang unta untuk menulis. Ia juga pernah pergi ke sebuah kantor mengharap dapat diberi beberapa lembar kertas. Selepas dari Yaman, Imam Syafi’i berangkat ke Irak, negara yang dulu bernama Mesopotamia itu adalah pusat peradaban dan kekuasaan Islam. Ia sempat bertemu dengan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Ketika berjumpa, Khalifah sangat terkesan dengan kemuliaan ilmu Imam Syafi’i. Imam Syafi’i dapat dengan baik memberikan jawaban dari pertanyaan Khalifah mengenai Ulumul Qur’an, Hadits, Astronomi, logika serta sejarah nasab keturunan Nabi dan lainnya.
Padahal awalnya Imam Syafi’i dipanggil ke Istana berkenaan dengan tuduhan bahwa ia terlibat dalam golongan yang memberontak kepada Khalifah. Tuduhan itupun dicabut dan Imam Syafi’i mendapatkan penghormatan yang tulus dari Khalifah.
Setelah itu ia kembali ke Mekah dan menjadi guru bagi umat, pendapat-pendapat baru mengenai hukum Islam, juga peletak dasar-dasar Ushul Fikih, mulai ia sampaikan dan kembangkan. Beberapa saat Imam Syafi’i kembali ke Irak dan menyusun KitabAr-Risalah, kitab pertama yang secara sistimatis dan jelas menggunakan masalah Ushul Fikih. Ia juga menulis Kitab Al-Umm yang memuat secara jelas pandangan-pandangan fikihnya. Kitab Ar-Risalah kemudian mengalami revisi saat Imam Syafii menetap di Mesir.
Di sana pula ia setiap hari memberi pelajaran enam jam berturut-turut pada majlis yang digelarnya. Ia memberi pelajaran berbagai disiplin ilmu, hingga muridnya pun berdatangan dari berbagai kalangan. Mereka yang belajar kepadanya datang dari Yaman, Irak, Syam dan daerah lainnya.
Di Mesir pula Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H. sebelum wafat beliau sempat menyempurnakan terlebih dahulu shalat magribnya.
Demikianlah Imam Syafi’i menjadi guru umat dalam arti sebenar-benarnya. Ketinggian ilmunya menjadi mutiara yang paling berharga bagi kehidupan umat Islam sampai detik ini. Jika ada orang yang mengamalkan pembagian malam menjadi tiga, – yakni untuk belajar, tahajud serta bermunajat, dan sisanya baru untuk tidur – pastilah ia belajar dari Imam Syafi’i. Itulah salah satu contoh dari Waliyullah dan Waliyul ilmi yang diberkahi sang Khalik, Allah SWT.
EmoticonEmoticon