HUKUM SADRANAN

MEMAKNAI SADRANAN

Di dalam masyarakat jawa, menjelang datangnya bulan suci ramadhan tepatnya dibulan Ruwah / Sya’ban ada tradisi yang bernama Sadranan. Menurut sejarah, Sadranan ini telah turun-temurun sejak dulu. Pada saat masyarakat jawa belum beragama Islam, Sadranan ini dilaksanakan sebagai pemujaan pada arwah leluhur yang telah meninggal dunia. Setiap bulah ruwah masyarakat selalu menyiapkan sesaji (sajen) yang diperuntukkan untuk para arwah-arwah tersebut. Sesaji untuk upacara pada masa lalu berwujud makanan mentah, daging mentah, dupa dan darah. Dengan berbagai sajen yang dipersembahkan kepada arwah tersebut, mereka berharap mendapatkan keselamatan, kesejahteraan dan keberkahan hidup. Semua makanan tersebut diletakkan di kuburan-kuburan, punden, batu besar, sungai, pohon besar atau ditempat yang dianggap keramat lainnya.
Era kerajaan Islam Demak dengan rajanya Raden Patah dan dibantu penasihat spiritualnya, yaitu Walisanga merupakan babak baru perubahan yang sangat mendasar atas tradisi sadranan ini. Walisanga tetap mempertahankan tradisi sadranan, tetapi substansinya diisi dengan nilai-nilai Islam. Sadranan tidak lagi dipersembahkan kepada arwah leluhur, tetapi merupakan sarana untuk mendoakan agar arwah para leluhur tersebut bisa tentram, damai di sisi Allah SWT. Makanan yang semula berupa makanan mentah, daging mentah dan darah diganti dengan makanan dan minuman yang baik, hasil dari pertanian dan peternakan yang dimiliki oleh masyarakat. Tempat Sadranan yang dulu dilakukan di pekuburan dan tempat yang dianggap keramat, dipindah dan dilaksanakan di Masjid-masjid atau rumah sesepuh. Hal ini mirip sebagaimana Rosulullah SAW berdakwah dalam menyikapi tradisi kaum jahiliyyah diantaranya dalam melestarikan tradisi Aqiqoh. Konon sebelum kedatangan Islam, kaum Quraisy jahiliyah ketika ada yang melahirkan, mereka menyembelih kambing. Namun kambing sembelihan itu dipersembahkan untuk berhala dan perut dari si bayi dilumuri dengan darah sembelihan. Ketika Islam datang, Rosulullah tetap melestarikan tradisi penyembelihan kambing ketika ada kelahiran, namun daging kambing itu di sedekahkan.
Rangkaian kegiatan sadranan ini dilaksanakan dengan berbagai variasi sesuai dengan adat masing-masing daerah. Pada umumnya sadranan diawali dengan bersih-bersih makam. Acara bersih kubur ini merupakan kegiatan pembuka dan melibatkan seluruh masyarakat desa. Setelah bersih-bersih makam, kegiatan dilanjutkan dengan membersihkan jalan-jalan, pasar, balai desa atau tempat lainnya yang memiliki fungsi sebagai tempat publik. Setelah itu, dilanjutkan dengan acara Munjung, yaitu kegiatan saling mengirim makanan kepada para kerabat, tetangga dan orang-orang yang di hormati. Munjung berasal dari kata kunjung yang artinya mendatangi. Munjung biasanya dilakukan oleh anak-anak dimaksudkan agar anak-anak lebih mengenal silsilah keluarga atau kerabat. Setelah Munjung selesai, kegiatan berikutnya adalah kenduri, selamatan atau bancakan. Kenduri ini biasanya dilakukan secara bersamaan atau dilaksanakan di Masjid yang dipimpin oleh seorang Kiyai atau orang yang disepuhkan di desa tersebut.
Makna yang terkandung dalam tradisi sadranan ini antara lain : Pertama, Bersih kubur, kegiatan ini memiliki makna akan pentingnya kebersihan tidak hanya di rumah tempat tinggal, tetapi juga di tempat-tempat umum seperti makam, jalan dan balai desa. Dengan dibersihkannya tempat itu maka bisa menjadi symbol bahwa masyarakat telah memberisihkan jasmani mereka dari segala kotoran yang melingkupinya sehingga pada bulan puasa yang akan segera datang, mereka bisa menyempurnakan amalan dan memberishkan batin mereka. Disamping itu, membersihkan makam merupakan media untuk ingat pada mati, dengan mengingat mati manusia akan memiliki kecenderungan untuk berbuat sebaik mungkin dalam hidup. Bukankah Rosulullah telah menyatakan bahwa orang yang cerdas itu adalah orang yang ingat akan kematian. Bersih makam juga dapat menjadi sarana menziarahi dan mendoakan arwah leluhur yang telah meninggal dunia. Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah SAW pernah menziarahi kubur ibunya, lalu menangis dan membuat orang di sekitarnya turut menangis. Beliau bersabda, “ Saya meminta izin kepada Tuhanku untuk memohonkan ampunan buat ibu namun tidak diizinkan. Dan, saya minta izin untuk menziarahi kuburnya, lalu diizinkan. Maka ziarahlah kubur, karena dapat mengingatkan kematian (HR. Tirmidzi).
Kedua, makna yang terdapat dalam tradisi munjungan adalah cara mempererat kekeluargaan di masyarakat. Anak-anak yang biasa munjung dilatih atau dibiasakan untuk bersedekah dan mengetahui sejarah dan silsilah yang dimiliki oleh keluarga mereka. Salah satu cara berbakti kepada leluhur atau orang tua yang telah meninggal adalah bersedekah untuk leluhur dan menjalin silaturahim serta menjaga hubungan kekeluargaan dengan kerabat dan hadaitulan leluhur. Ibnu Umar pernah berkata, “ Saya mendengar Rosulullah SAW bersabda, Sesungguhnya sebaik-baik wujud bakti anak kepada orang tuanya sepeninggal mereka adalah menyambung tali persaudaraan dengan keluarga yang dicintai oleh orang tuanya.”
Ketiga, makna kenduri merupakan simbul dari ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas semua karunia yang telah diberikan. Sebagai ungkapan syukur tersebut masyarakat mengeluarkan sedekah berupa makanan. Dan dalam kenduri itu biasanya juga dilakukan zikir bersama dan berdoa mohon keselamatan dan kesejahteraan kepada Allah SWT. Disamping itu, kenduri merupakan simbul persatuan dan kerukuanan masyarakat desa. Kenduri juga menjadi sarana menyampaikan informasi penting bagi desa misalnya mengenai program pengembangan desa.
Demikian perubahan substansi, tatacara dan pemaknaan dari tradisi Sadranan ini sebagai bentuk akomodatif Walisanga terhadap kekayaan budaya lokal dalam berdakwah di masyarakat jawa. Pendekatan kultural mensyaratkan adanya penghargaan terhadap berbagai pranata lokal yang dimiliki masyarakat sehingga masyarakat tidak merasa tercerabut dari akar tradisinya. Perubahan yang ditimbulkan dari model dakwah kultural ini bersifat gradual, atau perlahan-lahan, tetapi mengakar sampai pada akar kesadaran masyarakat. Namun demikian, estafet perjuangan Walisanga masih membutuhkan generasi baru. Masih banyak agenda yang perlu diselesaikan, seperti masih tersebarnya budaya dan ritual yang perlu di benahi dan ditata ulang kembali sehingga lebih selaras dengan nilai-nilai Islam. Hanya Allah SWT yang mengetahui segala kebenaran.
Previous
Next Post »