Pemikiran Imam Syafi’i sangat luar biasa, ia tidak hanya terkenal pada zamannya, tetapi juga zaman setelahnya, bahkan sampai kini, berabad-abad kemudian. Hanya, sangat disayangkan, buah pikirannya itu sering dianggap sebagai sebuah kebenaran mutlak yang tidak boleh di otak-atik. Banyak para penganut Mazhab Syafii yang marah dan menuduh kafir bila ada orang yang mencoba mengkritiknya.
Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, contohnya. Pemikir Muslim Mesir ini harus menerima vonis murtad dan ancaman kematian atas kritiknya terhadap pemikiran Imam Syafii. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1993 ketika mengajukan buku Al-Imam Syafi’i Wa Ta’sis Al-Aidulujiyah guna memenuhi pemberian gelar Profesor di Universtas Kairo.
Padahal Imam Syafi’i sendiri adalah orang yang sangat menghargai perbedaan pendapat. Syafi’i biasa berdiskusi dan bertukar pendapat dengan guru-gurunya. Ia berani mencetuskan pemikirannya sendiri meskipun berguru kepada Imam Malik. Tidak aneh bila dalam suatu kesempatan ia berkata, “Aku lebih menyukai orang alim (Intelektual) yang di taqlidi (diikuti) ketimbang orang alim yang bertaqlid.” Demikianlah penuturan Syafi’i sebagaimana dituturkan Ahmad Muhammad Syakirdalam pengantar buku Ar-Risalah. Suasana saling terbuka dan saling menghargai pendapat yang berbeda inilah yang jarang kita jumpai di abad ini.
Imam Syafi’i mungkin tidak tahu kalau produk pemikiran hukum Islamnya menjadi sebuah Mazhab dari masa ke masa. Biasanya suatu Mazhab di gunakan karena,Pertama, Kekuasaan. Kedua, Hasil pemikiran yang genius dan bagus. Dua hal ini dimiliki oleh Imam Syafi’i. Ijtihad hukumnya berkembang di Mesir karena campur tangan Salahuddin Al-Ayyubi. Juga ketika berada di Yaman, ia bekerja pada Gubernur di sana.
Sementara itu, pada faktor kedua, pemikiran hukum Syafi’i sering disebut Moderat, ia tidak berpihak ke kanan atau ke kiri. Ia memadukan corak pemikiran Fikih Ahlul Hadits (Tradisional) dan Ahlu Al-Ra’yu (Rasional). Sebagai seorang pecinta Ilmu, ia belajar ilmu fikih dan hadis kepada Imam Malik di Madinah.
Pada lain kesempatan ia juga menimba ilmu fikih yang cendrung mengedepankan akal kepada Muhammad bin Hasan Al-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah. Karena itulah, wajar bila Syafi’i menggabungkan fikih Madinah dan fikih Irak. Ia membuat metode hukum tersendiri berdasarkan karakteristik fikih tersebut. Posisi inilah yang sangat menguntungkannya di kalangan umat Islam saat itu, terutama tatkala beliau berada di Mesir pada tahun 814 M.
Produk pemikiran seseorang selalu dipengaruhi oleh ruang dan waktu dimana ia berada. Begitu juga dengan Imam Syafi’i. Situasi dan tempat turut mempengaruhi Ijtihadnya. Sewaktu menuntut ilmu di Irak, ia mengeluarkan Ijtihad hukum Islam yang dikenal dengan Qaul Qadim (pendapat yang lama).
Di lain hal, Imam Syafi’i lazim di kenal dengan Qaul Jadid (pendapat yang baru).Qaul Jadid adalah ijtihad beliau tatkala mengunjungi Mesir. Beliau mencetuskan Qaul Jadid ini setelah bertemu dengan para Ulama Mesir. Apalagi waktu itu, adat-istiadat, situasi dan kondisi di Mesir benar-benar berbeda dengan Irak. Baik Irak maupun Mesir memiliki ciri masyarakat sendiri-sendiri. Tidak aneh, bila Syafi’i mengeluarkan Ijtihad yang berbeda-beda.
Imam Syafi’i biasa mendektekan Qaul Qadim-nya itu kepada murid-muridnya di Irak, diantaranya Ahmad bin Hambal, Husaen Al-Karabisy dan Al-Za’faraniy. Begitu juga dengan Qaul Jadid-nya, ia mendektekan kepada murid-muridnya di Mesir. Seperti Al-Rabi’ Al-Muradiy, Al-Buwaithiy dan Al-Muzanniy, mereka adalah para ulama yang berpengaruh di Mesir. Berawal dari sinilah, pemikiran Syafi’i menjadi sebuah Mazhab sampai ke seluruh pelosok negeri.
Mazhab Syafi’i tersebar mulai dari Irak, Khurasan, Palestina, Syiria, Yaman, Iran, Hijaz, India, Afrika dan Andalusia (Spanyol) Sesudah tahun 300 H. tahun demi tahun Mazhab ini mulai tersiar tidak hanya di Timur tapi juga di Barat. Biasanya ajaran Mazhab Syafi’i di bawa oleh para pengikut setia Syafi’i dari negeri satu ke negeri lain, termasuk ke negeri-negeri Asia Tenggara.
Umumnya mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut Mazhab Syafi’i. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor: Pertama, melalui ulama Indonesia yang menuntut ilmu dan mukim di Mekah. Mereka banyak berguru kepada Syekh-Syekh yang bermazhab Syafi’i. Kedua, melalui pemerintah Indonesia. Dahulu, pemerintah kerajaan Islam di Indonesia, seperti Kerajaan Islam Mataram, Cirebon dan lain-lain, telah mengesahkan dan menetapkan Mazhab Syafi’i sebagai panduan hukum di Indonesia. Terlebih-lebih hal ini di akui oleh perintah Hindia Belanda. Pada masa itu, Kantor-kantor Pengadilan Agama banyak mengambil rujukan dari kitab-kitab fikih Syafi’iyah, seperti Al-Umm, Al-Tuhfah, Al-Majmu dan lain-lain.
Mazhab Syafi’i memang sangat mengakar di Indonesia. Lihat saja pesantren-pesantren yang ada di Indonesia, hampir semuanya menganut mazhab Imam Syafi’i, baik dalam hal pemikiran maupun dalam pengamalan fikih. Meskipun tidak bisa dipungkiri, buah pena imam-imam mazhab lainnya juga dipelajari.
Fenomena inilah yang rupa-rupanya menjadi kenyataan dalam mimpi Ibunda Imam Syafii. Menurut satu riwayat, pada suatu malam di dalam tidurnya, Ibu Imam Syafi’i melihat bintang keluar dari perutnya, lalu melambung tinggi ke udara, kemudian beberapa bagian bintang itu jatuh kembali mengenai suatu negeri, menyinarinya. Setelah bangun dari tidur, ia terperanjat. Menurut pentakbir mimpi, ia akan melahirkan anak laki-laki yang ilmu pengetahuannya akan memenuhi muka bumi.
EmoticonEmoticon